Monday 19 June 2017

Gerbang (Gerakan Anak Bangsa) di Pekalongan

June 19, 2017 0


Foto bersama Gerakan Anak Bangsa di Binagriya, Pekalongan
Malam minggu lalu, 17 Juni 2017, saya diajak oleh kawan saya untuk mengikuti sebuah pertemuan yang mana penggagas pertemuan tersebut berasal dari Yogyakarta, bernama Hariyanto (di sana ia dipanggil Mas Har). Pertemuan oleh Gerakan Anak Bangsa (Gerbang) tersebut merupakan pertemuan orang-orang yang aktif sebagai jamaah Maiyahnya Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Karena itulah, dalam pertemuan tersebut saya mendapati cukup banyak orang-orang yang saya kenali beberapa tahun ke belakang, menjadi bagian dari penggiat Maiyah Suluk Pesisiran Pekalongan.

Saat tiba di ruang pertemuan tersebut, saya sekali takjub karena ruangan yang dipakai sungguh jenis ruangan yang sangat nyaman untuk sebuah acara-acara semacam diskusi dan sejenisnya. Hampir keseluruhan dinding ruangan tersebut terbuat dari ukir-ukiran kayu yang setiap kali saya amati, saya akui membikin saya mengulang-ulang rasa takjub. Di sana, acara sudah mulai dan tengah ada seorang pria berpeci hitam sedang berbicara. Sejenak, saya belum dapat menangkap apa yang dibicarakan si pria berpeci hitam tersebut.

Barulah setelah saya duduk ala tahiyyat awal dalam salat sekitar 5 menitan, saya mulai dapat menangkap apa yang dipaparkan oleh si pria berpeci hitam. Belakangan, si pria berpeci hitam ini saya ketahui bernama Muhammad Imaduddin (Mas Imad). Dan di belakangnya lagi kemudian saya juga mengerti bahwa ia termasuk kontributor situsweb favorit saya: Mojok.co.

Usai Mas Imad mengakhiri pembicaraannya mengenai kebangsaan, atau kira-kira kondisi bangsa Indonesia saat ini dan tarik ulurnya pada waktu lampau dan terkaan masa depan, disambung oleh pembicaraan Mas Har. Bukan sekadar berbicara layaknya diskusi sederhana, Mas Har juga “beraksi” dengan berdiri di depan salah satu dinding yang telah ditempeli kertas sampul buku berwarna cokelat itu. Ia berbicara sembari menuliskan beberapa hal dan sesekali membentuk diagram-diagram sederhana untuk mempertegas penjelasannya mengenai kebangsaan.

Yang saya catat, Mas Har menguraikan bahwa di Indonesia ini terdapat dua jenis “pemimpin”. Pemimpin yang pertama disebut sebagai pemimpin struktural, gampangnya presiden. Dan pemimpin jenis yang kedua yaitu pemimpin kultural, yang bisa dimaknai sebagai para Imam, Kyai atau Ulama yang menjadi panutan masyarakat. Di antara kedua jenis pemimpin ini, ada celah yang begitu jauh dan runyam sehingga keduanya nyaris tak bisa dipersatukan. Mengapa demikian? Jawabannya karena orientasi kedua jenis pemimpin ini memang jauh berbeda. Yang struktural harus tunduk pada sistem (mudahnya sistem pemerintahan saat ini: demokrasi), sedangkan pemimpin kedua, pemimpin kultural, ingin lebih menonjolkan bahwa mereka lebih tunduk pada Sang Khaliq.

Mas Har kemudain melanjutkan narasinya dengan menyerempet ranah global. Tentang perusahaan multinasional, tentang kongkalikong politisi Indonesia dengan pengusaha, dan seterusnya dan seterusnya. Saya mulai tertarik dan tergugah untuk mencatat sesuatu. Namun sayang sekali, saya hanya membawa sebuah pulpen tanpa buku catatan. Dalam kondisi seperti itu, saya mengumpat keras-keras dalam hati karena tak membawa peralatan tulis menulis untuk mencatat hal-hal yang menurut saya penting untuk dicatat. Kalau kalian berpikir dan bertanya mengapa saya tak mencatat melalui ponsel, jawabannya menyedihkan; ponsel yang saya bawa malam itu merupakan ponsel Nokia 1600.

Akhirnya saya tak peduli dan terus saja menyimak apa yang disampaikan Mas Har. Di tengah penjelasan lanjutannya, tangan kiri saya tiba-tiba tergerak untuk merogoh saku celana kiri saya. Dan agak mengejutkan, di dalam saku celana jins yang sudah 3 bulan tak saya cuci itu saya temukan selembar kertas. Selembar kertas sobekan buku merk Kiky. Saya tersenyum dan segera memanfaatkannya untuk mencatat beberapa hal. Saat itulah saya segera berdzikir menyebut asma Allah.

Mas Har juga menerangkan bahwa inti pergerakan yang tengah dibangun ini bukan pergerakan yang sifatnya eksklusif. Kalau massif, harapannya iya massif, tapi tidak eksklusif. Saya jadi tahu bahwa rupanya inti dari gerakan ini adalah mendorong orang-orang alim-allamah untuk bersatu mengadakan musyawarah yang di dalamnya membahas perihal kebangsaan. Mendorong para ulama untuk mencetuskan ide-ide atau rumusan bagaimana nasib bangsa Indonesia ini ke depannya.

Dalam penjelasannya yang lebih mendetail, pergerakan ini nantinya akan berjalan dalam, setidaknya tiga tahap; pertama, Gerakan Makmuman 1 yaitu gerakan menyadarkan diri sendiri dan lingkungan terdekatnya untuk benar-benar paham serta sepenuhnya sadar bagaimana kita sebagai masyarakat memilih pemimpin yang benar-benar ideal. Kedua, Gerakan Makmuman 2, yaitu kita sebagai masyarakat yang telah sadar bagaimana dan siapa pemimpin yang layak menjadi imam kita, melaksanakan deklarasi; Deklarasi Makmum. Deklarasi bahwa kita, dalam lingakran orang-orang yang telah sepaham dan sekesadaran yang sama, mendeklarasikan bahwa Kyai A, Habib B, Syaikh C atau Imam D dan seterusnya merupakan imam di mana kita berdiri di belakangnya sebagai makmumnya. Ketiga, atau yang menjadi puncak pergerakan ini, yaitu terwujudnya Musyawarah Imam Bangsa. Yaitu adanya musyawarah persatuan antara para Kyai, Habaib, Masyayikh, Aimmah dan seterusnya untuk memusyawarahkan hal-hal yang berkaitan dengan kepemimpinan bangsa Indonesia.

Penjelasan Mas Har, semakin ke sini semakin menarik. Terlebih ia memberi selingan guyon-guyon yang menambah kesejukan suasana. Saya terhanyut meski beberapa hal yang disampaikan olehnya ada yang sudah pernah saya dengar dan atau baca di lain tempat dan konsisi, seperti misalnya tentang terrorisme yang sengaja disusupi terroris bikinan barat, tentang kegalauan seorang presiden, dan lainnya.

Mas Har kemudian menutup penjelasannya dan langsung disambung beberapa patah kata oleh seorang yang dipanggil dengan nama Teguh. Mas Teguh dan Mas Hariyanto inilah dua orang penggagas utama Gerakan Anak Bangsa (Gerbang). Sampai saya menuliskan ini, saya masih belum tahu bagaimana latar belakang keduanya secara pribadi. Dan sampai di sini pula, saya belum tertarik untuk menggali kepribadian kedua orang ini. Sejauh yang saya tahu, keduanya merupakan penggiat yang aktif di Maiyah Yogyakarta. Kalau boleh saya sampaikan di sini, orang-orang yang telah aktif sebagai jama’ah Maiyah, memang sering menularkan kesan menyenangkan, bersahabat, humoris, serta nyaman dalam berkomunikasi.

Mas Teguh ini tidak terlalu banyak memaparkan perkara. Saya bahkan tak mencatat apapun dari apa yang disampaikannya. Seingat saya, Mas Teguh lebih banyak bercerita soal pengalamannya bertemu orang-orang di berbagai kota, yang dijelaskan mengenai Gerbang itu sendiri. Mas Teguh, sekali lagi seingat saya, lebih sering bercerita soal bagaimana reaksi orang-orang yang mendengar gagasan tentang Gerbang ini di berbagai kota yang telah dikunjunginya.

Waktu yang kemudian bergulir, akhirnya sampai pada sesi tanggapan atau sejenis tanya-jawab. Saya juga kemudian baru tahu bahwa pertemuan itu, pembawa acaranya adalah Eko Suprihan atau kita panggil saja Mas Eko. Dan tanpa basa-basi, Mas Eko langsung melemparkan waktu kepada seluruh peserta yang hadir dalam pertemuan tersebut untuk menanggapi, atau bertanya utamanya tentang Gerbang yang runtutannya telah disampaikan oleh Mas Imad, Mas Teguh dan tentu Mas Har.

Saya celingak-celinguk karena jujur saja bingung mau tanya apa. Tapi setelah 10 detik hingga belasan detik tak ada peserta yang angkat tangan setidaknya untuk bertanya. Saya beranikan diri untuk mengangkat tangan. Langsung. Langsung saja saya kemudian gemetar. Entah ini jenis penyakit apa, saya selalu gemetar tiap kali ngomong di depan banyak orang, yang belum terbiasa ngobrol sama saya. Meski begitu, meski terbata-bata, saya akhirnya mampu menyampaikan tiga pertanyaan.

Kurang lebih beginilah pertanyaan saya: pertama, siapa dan bagaiaman kriteria imam yang kita sebagai makmum harus kita pilih? Kedua, apakah kita sebagai makmum ini memiliki kewenangan untuk “menyetir” para imam tersebut? Ketiga, setelah imam-imam itu terpilih dan terbentuk, kita sebagai makmum, harus ngapain?

Ketiga pertanyaan saya tersbut, secara pelan-pelan dijawab oleh Mas Har. Dalam menjawab pertanyaan pertama saya, Mas Har mengatakan bahwa kurang lebih kriteria ulama yang seharusnya kita pilih menjadi imam kita adalah mereka yang sedikit banyak terbukti mampu mengayomi dan mengajak ke jalan Allah. Ini bisa siapa saja, tak harus ulama besar yang memiliki massa ribuan atau jutaan, kyai kampung pun bisa kita pilih untuk menjadi imam kita dan kemudian pada Gerakan Makmuman 2, kita deklarasikan bahwa kyai kampung pilihan kita itulah ulama yang kita ajukan untuk menjadi imam kita.

Pertanyaan kedua dijawab dengan sedikti cerita. Mas Har menggambarkan kita ini mau salat berjamaah. Nah, dalam salat berjamaah ini ketika ada imam yang bacaan dan atau gerakannya salah, maka yang bertanggungjawab untuk membenarkan adalah makmum. Maka dari itu, pertanyaan saya tadi bisa disebut memiliki jawaban bahwa iya, kita sebagai makmum pada imam yang kita pilih, boleh memberi masukan dan kritik apapun terhadap imam kita.

Dan untuk pertanyaan terakhir, yang oleh Mas Teguh dianggap sebagai pertanyaan baru yang di berbagai pertemuan menjelaskan soal Gerbang di lain kota belum pernah ditanyakan, merupakan pertanyaan yang Mas Har dan Mas Teguh belum mampu menjawabnya. Dijelaskan oleh Mas Har kurang lebih begini, intinya kita ini sebagai masyarakat yang mau menyadari bagaimana kondisi bangsa, kita fokus pada prosesnya saja dulu. Persoalan bagaimana nanti hasilnya, kita serahkan sepenuhnya kepada Allah.

“Aku dewe yo jan-jane bingung, Mas. Iki nak wes kelakon ono musyawarah imam bangsa kui terus dewe ngopo, yo?” begitu tukas Mas Har menutup jawaban pertanyaan terakhir saya.

Selanjutnya, masih ada beberapa peserta yang kemudian memberi tanggapan dan juga membuka pertanyaan lain. Dalam catatan saya, ada Mas Ribut Achwandi (penggiat dan pendiri Omah Sinau Sogan/Teater Sinau Sogan), lalu ada pula Ustadz Hamam, Pak Aya’, serta seorang lagi dari Pemalang yang saya lupa namanya.

Pada akhirnya, pertemuan malam itu memang baru sebatas pengenalan dan sedikit penjelasan mengenai bagaimana model pergerakan Gerakan Anak Bangsa (Gerbang) ini akan diwujudkan. Adapun detail teknisnya, diakui oleh Mas Har dan Mas Teguh, memang belum sepenuhnya matang dan masih terus digodok oleh tim lain di Yogyakarta. Catatan pentingnya, barangkali perlu saya sedikit urai di sini, bahwa pergerakan ini memang digagas oleh orang-orang yang dekat dengan Cak Nun serta yang diajak pun lebih banyak orang-orang Maiyah. Di sini, muncul pertanyaan, apakah Cak Nun meyetujui apa yang digagas dan dilakukan oleh orang-orang ini? Mas Har memberi penjelasan bahwa sebelum mengadakan sarasehan pertama di, —kalau tidak salah di Surabaya—terlebih dahulu memberitahu Cak Nun. Dan jawaban Cak Nun adalah; “iki tak sinauni dhisik, kowe juga sinau meneh.” Dan ketika Mas Har kemudian telah mulai berjalan serta mendapati perkembangan yang ada, Mas Har pun melaporkannya kepada Cak Nun. Jawaban Cak Nun, “Sinau terus.”

Yang saya tangkap kemudian adalah, bahwa Gerbang ini memang dibikin bukan untuk menambah keriuhan bangsa. Orang-orang ini, tidak berkehendak untuk membikin bangsa kian riuh dengan mengadakan gerakan-gerakan dalam bingkai demonstrasi. Sama sekali bukan. Pergerakan dalam Gerbang ini, dalam pandangan saya pribadi, merupakan gerakan penyadaran diri sendiri akan pentingnya mengenali siapa diri kita masing-masing, sebelum kita pura-pura mengenal orang lain. Dan juga, Gerbang, barangkali merupakan sebuah gerbang untuk kita terus belajar. Dan barangkali pula, jika gerbang ini telah terbuka, kita akan menemu sebuah kota yang penuh dengan nur, yang memberi penerangan atas jalan kita menuju Allah Yang Maha Esa.
Read more...