Jum’at siang, saya terkaget-kaget karena melihat ratusan orang berkumpul di Balai Desa Simbang Wetan, desa saya tinggal. Sejenak kemudian, kekagetan saya berubah menjadi kebahagiaan melihat warga di desa saya yang berkumpul di Balai Desa tersebut. Senang sekali rasanya, akhirnya warga sedesa saya ini mau berkumpul dalam sebuah forum penting. Bukan, ini bukan acara pemilihan kepala desa baru atau yang kerap kami sebut “kodrah lurah” itu. Melainkan ini adalah perkumpulan warga yang entah apa sebabnya, akhirnya mau berkumpul demi menimba ilmu, ilmu soal jurnalistik.
Ya, betul sekali. Ratusan warga di desa saya
tersebut berkumpul untuk mengikuti Pelatihan Jurnalistik. Yang paling
bahagia dari antusiasme masyarakat desa Simbang Wetan ini tentu saja
adalah para mahasiswa KKN dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN)
Pekalongan yang menginisiasi program pelatihan tersebut. Namun demikian,
kebahagiaan saya tak kalah besar dibanding yang mereka rasakan.
Sebagai pemuda warga desa Simbang Wetan, saya turut bahagia melihat
keadaan ini. Inilah perubahan. Inilah langkah yang menuju pada kemajuan
desa. Inilah apa yang disebut sebagai semangat masyarakat dalam menatap
masa depan.
Kita tahu bahwa hidup di zaman sekarang, kita sebagai
manusia memang perlu melek terhadap teknologi. Lebih dari itu, kita pun
perlu melek dalam dunia jurnalistik agar kita sama-sama bisa mengoreksi
setiap kejadian, mencatatkan peristiwa, dan saling berbagi kabar dengan
baik, tidak menyinggung dan memojokkan salah satu pihak. Melek media,
menjadi sebuah pintu gerbang bagi masyarakat agar tidak mudah termakan
isu-isu negatif terlebih isu tak berdasar, isu bohong atau hoax.
Pukul setengah dua siang usai Jumatan, ratusan warga di desa saya ini
sudah duduk rapi di dalam gedung Balai Desa. Di bagian kiri, duduk warga
perempuan dari desa kami. Sedangkan di barisan kanan, para lelaki duduk
manis, saya berada di barisan ini bersama pemuda lain seusia saya,
bersama sahabat-sahabat saya di Gerakan Pemuda (GP) Ansor.
Semuanya, berkumpul menjadi satu dalam ruangan tersebut, mulai dari
remaja, pemuda, hingga bapak-bapak dan ibu-ibu. Sungguh, bagi kedua mata
saya, pemandangan ini jauh lebih indah dari segala pemandangan apapun
atas nama alam. Inilah pemandangan alam yang sesungguhnya.
Lima
menit lewat dari jam setengah dua, beberapa mahasiswa KKN IAIN
Pekalongan maju ke depan menghadap kami. saya hitung jumlah mahasiswa
yang maju ke depan tersebut ada 5 orang. Dua di antaranya, keduanya
perempuan, kemudian memilih berdiri dan segera mengucapkan salam sebagai
pertanda dimulainya kegiatan pelatihan jurnalistik yang mereka gagas
tersebut.
Sedangkan tiga temannya yang lain, satu di antaranya
(seorang perempuan juga) menghadap layar laptop, ialah yang mengatur
slide presentasi yang layarnya terpampang di sudut ruangan yang cukup
gelap. Sisanya, dua mahasiswa duduk sambil tiada henti mengulas senyum
seakan pertanda bahwa mereka begitu bahagia melihat animo masyarakat
desa saya atas program mereka.
Kedua mahasiswa yang sedari tadi
tersenyum manis itu kemudian diberi waktu untuk mulai memaparkan satu
demi satu materinya. Secara bergantian, kedua mahasiswa tersebut nampak
begitu kompak. Jika diibaratkan, mereka nyaris seperti dua vokalis yang
tengah berduet. Berhubung keduanya adalah lelaki, saya membayangkan
keduanya adalah Mike Shinoda dan Chester Bennington, duo pentolan band
asal Amerika, Linkin Park.
Materi demi materi disampaikan dengan
sangat rapi oleh kedua mahasiswa yang rupanya kedua mahasiswa ini adalah
mahasiswa pascasarjana yang sudah cukup lama menggeluti dunia tulis
menulis, terutama dunia jurnalistik. Si “Mike Shinoda” pada akhirnya
menutup materinya dengan kutipan yang ia ambil dari perkataan Imam Al
Ghazali tentang menulis yang kira-kira begini: “Jika kau bukan anak
seorang raja atau ulama, maka menulislah.”
Tanpa dikomando
terlebih dahulu, ratusan peserta yang kesemuanya adalah warga desa
Simbang Wetan itu bertepuk tangan. Seakan semua warga tersebut mengamini
segala apa yang diucapkan oleh pemateri. Terlebih, seakan para warga
desa Simbang Wetan ini benar-benar paham sepenuhnya apa yang telah
disampaikan oleh kedua pemateri kita. Saya pun ikut bertepuk tangan.
Bukan untuk pemateri, tetapi untuk semangat para warga desa saya tadi
yang sejak acara dibuka, semuanya dengan antusias memerhatikan
penjelasan pemateri sambil sesekali mencatat sesuatu di buku catatan
yang diberikan oleh penyelenggara, yaitu para mahasiswa KKN itu.
Ah, senang sekali rasanya saya menyaksikan hal ini. Bagi saya, ini
merupakan hari paling menyenangkan dibanding hari-hari lain. Inilah
Jumu’ah Mubarokah yang sesungguhnya. Jumat yang penuh dengan keberkahan
nan sejati. Hari Jumat adalah hari besar bagi umat Islam, pun bagi warga
desa saya Simbang Wetan karena sebagian besar masyarakatnya memiliki
hari libur pada hari Jumat tiap minggunya. Namun, dari kesekian hari
Jumat yang pernah saya lalui, ini merupakan hari Jumat terbesar. Ingin
sekali rasanya saya meneriakkan takbir di gedung Balai Desa ini.
Berikutnya, belum sempat saya meneriakkan takbir, dua mahasiswa
perempuan sang pembawa acara tadi, salah satunya kini mengambil alih
forum dan menjadi moderator jalannya pelatihan jurnalistik ini. Ia
membuka sesi tanya-jawab. Saat ia melemparkan kepada seluruh peserta,
banyak sekali peserta yang kesemuanya merupakan warga desa ini
mengangkat tangan sebagai tanda ingin bertanya. Tangan saya juga ikut
saya angkat karena memang ada yang ingin saya tanyakan.
Saat
seorang mahasiswa lain menyerahkan microphone kepada saya, saya diminta
berdiri untuk memperkenalkan diri sekaligus dipersilakan untuk bertanya.
Saat itulah, sayup-sayup telinga saya mendengar suara Emak saya
memanggil. Tak selang berapa lama, suara Emak saya kian jelas dan kian
keras.
“Lha wis ra, tangi. Jumatan! Wis jam setengah rolas kae wis adzan mesjid’e.”
Bukannya segera menuju kamar mandi untuk segera mandi Sunnah Jum’at,
saya justru termenung. Mengingat-ingat jalannya mimpi barusan. Saat Emak
saya sekali lagi memanggil saya, barulah saya bangkit dan mengumpat,
“Asem!” Bukan saya tujukan ke Emak saya, ya. Itu umpatan saya tujukan ke
diri saya sendiri yang baru saja menemu mimpi paling buruk sepanjang
masa; mimpi dapat mengumpulkan ratusan warga desa Simbang Wetan dalam
forum keilmuan.
*Tulisan ini pertama kali diterbitkan melalui akun Facebook pribadi saya.
No comments:
Post a Comment