Tuesday 28 March 2017

#

Ahok? Siapa tuh?

Gambar dari tabloidjubi.com
Sejak awal Pak Ahok tersandung kasus yang menyinggung soal agama, saya sudah yakin dan mantap untuk tidak mau ambil peduli mengomentarinya. Karena saya sadar betul, ada pilihan lain yang lebih perlu saya komentari, terlebih, pihak berwenang telah menangani kasus Pak Ahok tersebut dengan cepat, tegas dan serius. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan kasus-kasus sejenis, yang "menyakiti" minoritas.

Secara pribadi, saya tak menyukai Pak Ahok sehebat apapun beliau dalam menahkodai suatu wilayah. Ketegasan yang sering diunggulkan oleh para pendukungnya pun bahkan sama sekali tak meningkatkan minat saya untuk lantas mengaguminya. Pak Ahok, tanpa perlu saya koreksi nilai-nilai minusnya pun sudah tentu kita semua tahu di mana titik negatif beliau. Kecuali, mata kita buta.

Pada akhir tahun lalu, saat kasus Pak Ahok mulai meramai di media dan obrolan-obrolan di warung kampung, saya bahkan tak menyebut nama atau kasusnya dalam tulisan saya di suatu media. Tak bukan dan tak lain adalah saya hanya ingin mengurangi banyaknya kueri yang mengarah atas namanya. Yang demikian, saya benar-benar menghindari.

Beberapa hari yang lalu, saya mendapati pesan privasi melalui inbox dari salah seorang kawan sekaligus guru sekaligus motivator saya untuk menuliskan sebuah artikel singkat mengenai "Perbedaan Pendapat". Tanpa menunda-nunda, saya pun segera menuruti permintaannya. Namun, saat tulisan baru sampai separuh, saya bertanya-tanya, ini konteks perbedaan pendapat dalam hal apa?

Ketika pertanyaan tersebut saya utarakan kepada seorang guru sekaligus kawan sekaligus motivator tadi, saya diberitahu bahwa hal tersebut menyangkut kesaksian salah seorang Ulama dalam kasus Pak Ahok dengan Ulama lain. Seketika, minat saya untuk melanjutkan tulisan langsung runtuh. Walhasil, tanpa meminta maaf kepada sang guru sekaligus teman sekaligus motivator tadi, saya segera menutup tulisan setengah jadi itu dengan kata "Rausah teruske sek."

Ini saya anggap sebagai sikap agar saya yang sedari awal memang acuh tak acuh terhadap Pak Ahok, tetap seperti itu. Saya tak ingin ikut-ikutan, terlebih secara serius mengomentari urusan yang sudah ditangani secara profesional oleh yang berwenang dan berhak. Memang, saya, seperti rakyat pada umumnya, boleh-boleh saja mengomentari atau bahkan menghujat bagaimana proses keberlangsungan kasus yang dalam beberapa catatan pengamat muslim, mampu menggerakkan massa sedemikian besar itu.

Kita ini seringkali meneriakkan kebebasan tapi kita sendiri pula yang seringkali memaksakan orang lain untuk tidak bebas. Kita dalam hal ini adalah kita semua, lepas dari sepakat atau tidaknya, mengakui atau tidaknya. Di sisi lain, kita pun gemar meneriakkan perdamaian tapi menyelipkan kebencian dalam teriakan-teriakan kita.
Sejak pemilihan presiden 2 tahun lebih yang lalu, Indonesia ini kian berisik saja masyarakatnya. Yang paling menyedihkan dari keberisikan ini adalah bahwa orang-orang ini (saya, kalian, dan kita semua), lebih suka keberisikan dengan nada saling serang. Sudahlah, bawa kesini muka kalian yang mengaku anti-serang, biar saya pisuhi: Hypocrite!

Sejak tahun 2014 tersebut lah, Indonesia mengalami banyak kenaikan-kenaikan yang terkoreksi negatif. Pengguna internet sejak 2014 hingga 2016 di Indonesia meningkat pesat. Penetrasinya tercatat mencapai 51 persen lebih atau sekitar 80an juta pengguna. Seiring bertumbuhnya pengguna internet kita ini, saya kok agak yakin bahwa orang-orang yang "berperang" ini juga otomatis semakin banyak. Apalagi jika melihat bahwa peperangan yang terjadi, lebih sering terjadi di atas ring yang disebut "Media Sosial".

Indonesia pada hari ini, hanya ada dua kelompok besar yang mana keduanya saya anggap adalah sekumpulan banyak orang-orang bodoh dan dungu dan goblok dan tolol dan sejenisnya. Dua kelompok besar ini, dalam hal apa saja selalu berbeda. Dan perbedaan keduanya, selalu berujung pada keributan. Dan keributannya ini dipertontonkan secara tanpa malu di media-media. Lantas, dengan sangat dungunya mereka ini berkata, "Sudahlah mari kita berdamai".

Damai ndasmu kotak!

Perdamaian yang konon indah itu, saya kira hanya akan menjadi utopis bagi bangsa kita. Bangsa yang bahkan sampai saat ini belum jelas arahnya mau bagaimana, meski sudah pernah dipimpin oleh berbagai jenis kepala, ini sejatinya belumlah sempurna disebut bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Yang menjadi penyadaran bagi saya adalah di situ. Saya ini jauh dari ibukota Jakarta dan juga masih seperti dahulu (mengharamkan kaki menginjak tanah Jakarta). Kalau saya ikut-ikutan menghabiskan pikiran untuk memikirkan urusan di sana, lha ini yang mau peduli pabrik-pabrik kain mori di Pekalongan siapa? Yang mau memikirkan bagaimana desa saya ini menjadi tempat sampah berbagai warga di sekitar desa Simbangwetan, siapa?

Orang cerdas yang sok bijak tentu akan menertawakan pertanyaan remeh saya ini sembari berkata, ya adakalanya kita mikir lingkungan kita, dan adakalanya pula kita mikirin yang jauh-jauh.
Baik, saya sepakat dengan jawaban orang cerdas sok bijaksana tersebut. Tapi bukan Jakarta yang perlu saya bantu pikirkan. Yang lebih jauh dari Jakarta, masih banyak yang perlu dipikirkan. Salah satunya; kejahatan-kejahatan busuk di tanah Papua. Kamu, mau, ikut mikirin mereka?

PLER!

No comments:

Post a Comment