Tuesday 10 July 2018

Sowan Kiai Simbang Wetan

July 10, 2018 0
Sudah sebulan lalu, saya memberanikan diri untuk sowan kepada salah seorang kiai yang masih tergolong muda di desa saya. Seperti lazimnya awam, saya sowan memang tengah dilanda sebuah problematika. Dan problem yang menghantarkan jiwa dan raga saya sowan ke ndalem sang kiai adalah problematika pemuda tangguh pada umumnya: asmara.
Sowan

"Gimana, Led? Ada 'something'?" Saya belum juga meletakkan duduk saat ditanyai seperti itu. Sedikit cengengesan, saya menjawab,

"Nggih, Yai. Biasa, tiyang nem kados kula niki nek mriki kan nggih mbethane masalah mawon," saya dapat melihat sang kiai tersenyum saja sebelum akhirnya pamit ke belakang. Lalu balik lagi dengan menenteng sebungkus rokok Surya 16.

Melihat yang demikian, saya juga mengeluarkan 3 bungkus rokok. Dua di antaranya saya tak doyan; Djarum, yang memang sengaja saya bawa untuk saya tinggal di ndalem sang kiai. Sedang yang satu, rokok buat gegayaan saja; Sampoerna Mild.

Saya dan sang kiai, kemudian mulai membahas permasalahan yang tengah saya hadapi. Permasalahan yang sebetulnya bisa dianggap bukan permasalahan besar. Bahkan, sang kiai muda di hadapan saya ini menganggap bahwa apa yang tengah saya alami dan sudah lalui dalam menghadapi persoalan ini, adalah tindakan yang sudah tepat.

"Jadi, kamu benar-benar sendirian menghadapi orang tua gadis itu?"

"Iya, Yai," jawaban saya yang singkat begini rasanya seperti tidak memuaskan beliau.

"Apa yang membuatmu sedemikian nekat 'nembak cewek melalui orangtuanya' begitu, Led?"

Sebelum menjawab, saya menunduk malu. Mencari-cari jawaban yang tepat, karena saya memang tak tahu kenapa beberapa hari sebelum sampai sini, saya nekat mendatangi orang tua dan menanyakan soal anak gadisnya. Oh, maaf, maksud saya, salah seorang anak gadisnya karena orang tua itu punya beberapa anak gadis.

"Saya tidak begitu paham mengapa saya berlaku begitu, Yai. Saya juga tak begitu mengerti mengapa saya bisa jadi seberani itu. Saya," mendadak saya bingung bagaimana melanjutkannya. Lalu terbersit begitu saja kalimat ini dan saya utarakan segera, "Saya merasa jatuh cinta dan saking ingin menunjukkan keseriusan saya, saya memilih jalur dengan menemui orangtuanya, bukan si gadisnya lebih dulu."

Jujur saja saya keringatan saat pembicaraan sampai di sana. Andai saja ini kali pertama saya bertemu sang kiai, mungkin saya sudah gemetaran tak jelas. Untungnya, saya merasa memiliki kedekatan yang cukup, yang membuat saya merasa tenang meski grogi.

Tujuan saya sowan ke sana, adalah untuk meminta semacam doa, sekaligus pandangan mengenai gadis yang telah membuat saya jatuh hati. Kenapa meminta pandangannya sama kiai ini dan bukan sama, misal, teman-teman si gadis? Saya tak tahu. Saya melakukannya hanya karena saya tahu kiai ini juga kiai si gadis. Maaf, apakah diksi barusan cukup bisa dipahami?

Saya kemudian memperoleh banyak masukan dan pandangan, termasuk penilaian sang kiai terhadap si gadis. Saya diberitahu di bagian mana kelemahan si gadis, mana kekurangannya, mana sisi negatifnya. Sampai pada akhirnya, sang kiai berkata,

"Kalau kamu yakin betul sanggup menerima gadis dengan sifat-sifatnya itu, silakan kamu lanjutkan, saya dukung seratus persen!" Agak lega saya mendengar kalimat ini.
Sebelum obrolan berakhir, saya sempat diberi saran untuk melakukan beberapa hal, serta diberitahu bahwa orangtua si gadis, kemarin lusa sebelum kedatangan saya ke ndalem sang kiai, juga sempat ke sana lebih dulu.

Azan maghrib, pada akhirnya mengantarkan saya keluar dari ndalem sang kiai. Saya pamitan dan saat bersalaman, saya terus diingatkan untuk tak pernah berhenti berdoa.

Sampai di rumah, saya merasa lega karena setidaknya saya tak mendengar ada larangan bagi saya untuk melanjutkan 'misi asmara' ini dengan si gadis.

Usai melakukan salat maghrib hari itu di rumah, saya menyeduh kopi. Lalu dari saku kemeja saya keluarkan sebungkus rokok. Saat itulah saya merasa begitu bodoh lagi malu, rupanya saya membawa pulang rokok Surya 16 lengkap beserta korek api Cricketnya.

"Ya Allah! Iki rokok plus korek'e kiaine."

*Pertama kali diunggah melalui akun facebook pribadi
Read more...

Pohon Mangga

July 10, 2018 0
Sekitar seminggu yang lalu, kakak perempuan saya membeli pohon mangga. Sampai detik ini saya belum sempat menanyakan, mangga jenis apakah itu. Yang jelas, sore hari semingguan lalu tersebut, suami kakak saya menanam pohon mangga itu di pelataran rumah.
Pelataran rumah yang baru ditanami pohon mangga

Kalau kalian sudah berkawan dengan saya lebih dari sepuluh tahun silam, kalian barangkali masih bisa mengingat bahwa dulu, di tempat yang sama, pernah ada pohon mangganya juga. Dan, karena penanaman mangga ini di tempat dan titik yang sama persis, saya pun jadi teringat pohon mangga yang dulu. Sayang, saya tak berhasil menemukan foto pohon mangga yang dahulu.

Mengapa dulu pohon mangga itu ditebang? Setahu saya, itu disebabkan karena akan dipakainya pelataran rumah untuk menjemur kain batik abstrak "kriwilan". Karena urusannya untuj pekerjaan, bapak saya dulu harus "membunuh" pohon tersebut.

Apa efeknya? Tentu kalian bisa menebak dengan benar lagi gampang: depan rumah jadi terasa lebih panas. Betul. Memang begitu dan memang itulah tujuan pohon itu ditebang, biar pelataran panas dan bisa difungsikan untuk menjemur kain batik tadi.

Efek lain yang tidak terlalu ketara, adalah bahwa semenjak pohon itu ditebang, rumah saya jadi gampang berdebu. Saya dulu tak begitu menganggap hal ini sebagai masalah. Karena? Ya karena debu-debu itu setiap hari dibersihkan oleh kakak perempuan dan ibu saya.

Saya dulu tak merisaukan debu-debu yang setiap hari mengotori jendela dan pintu rumah, mengotori teras, dan seterusnya. Kakak perempuan dan ibu saya, selalu menyelesaikan persoalan debu ini.

Hari ini, barangkali kalian yang membaca ini sudah tahu bahwa kakak perempuan saya itu sudah tinggal bersama suaminya di lain rumah ini. Dan, awal Ramadan lalu, ibu saya meninggal, menyusul bapak saya yang lebih dulu meninggal enam bulan sebelumnya. Di rumah, tinggallah saya dengan adik saya yang juga laki-laki, hanya berpaut usia 1,5 tahun.

Debu-debu jalanan depan rumah, masih beterbangan dan hinggap di banyak celah rumah yang saya tempati. Sedari dulu, sejak pohon mangga dulu ditebang. Hari-hari ini, di samping saya terus belajar mengurus persoalan dapur, saya juga sudah mulai belajar menangani debu-debu yang mengotori rumah saya. Tentu saja pembelajaran ini saya selingi pula dengan terus belajar menjadi suami Salikhah, demi suksesnya menjadi bapak rumah tangga penuh cinta~

Penanaman pohon mangga baru semingguan lalu oleh kakak saya itu, bagi saya begitu memberi makna yang dalam. Saya bahkan berikrar di hati bahwa pohon mangga yang baru ini, akan saya rawat sampai kapan pun. Setiap pagi dan sore, saya selalu menyiraminya dengan air bersih.

Tadi sore, saya agak telat menyirami pohon mangga ini. Saya bahkan hampir lupa, kalau saja tak diingatkan oleh Shalikhah. Kamu, sudah tahu, kan, siapa Shalikhah?

*pernah dipublikasikan di laman Facebook pribadi.
Read more...