Tuesday 28 March 2017

Ahok? Siapa tuh?

March 28, 2017 0
Gambar dari tabloidjubi.com
Sejak awal Pak Ahok tersandung kasus yang menyinggung soal agama, saya sudah yakin dan mantap untuk tidak mau ambil peduli mengomentarinya. Karena saya sadar betul, ada pilihan lain yang lebih perlu saya komentari, terlebih, pihak berwenang telah menangani kasus Pak Ahok tersebut dengan cepat, tegas dan serius. Jauh berbeda jika dibandingkan dengan kasus-kasus sejenis, yang "menyakiti" minoritas.

Secara pribadi, saya tak menyukai Pak Ahok sehebat apapun beliau dalam menahkodai suatu wilayah. Ketegasan yang sering diunggulkan oleh para pendukungnya pun bahkan sama sekali tak meningkatkan minat saya untuk lantas mengaguminya. Pak Ahok, tanpa perlu saya koreksi nilai-nilai minusnya pun sudah tentu kita semua tahu di mana titik negatif beliau. Kecuali, mata kita buta.

Pada akhir tahun lalu, saat kasus Pak Ahok mulai meramai di media dan obrolan-obrolan di warung kampung, saya bahkan tak menyebut nama atau kasusnya dalam tulisan saya di suatu media. Tak bukan dan tak lain adalah saya hanya ingin mengurangi banyaknya kueri yang mengarah atas namanya. Yang demikian, saya benar-benar menghindari.

Beberapa hari yang lalu, saya mendapati pesan privasi melalui inbox dari salah seorang kawan sekaligus guru sekaligus motivator saya untuk menuliskan sebuah artikel singkat mengenai "Perbedaan Pendapat". Tanpa menunda-nunda, saya pun segera menuruti permintaannya. Namun, saat tulisan baru sampai separuh, saya bertanya-tanya, ini konteks perbedaan pendapat dalam hal apa?

Ketika pertanyaan tersebut saya utarakan kepada seorang guru sekaligus kawan sekaligus motivator tadi, saya diberitahu bahwa hal tersebut menyangkut kesaksian salah seorang Ulama dalam kasus Pak Ahok dengan Ulama lain. Seketika, minat saya untuk melanjutkan tulisan langsung runtuh. Walhasil, tanpa meminta maaf kepada sang guru sekaligus teman sekaligus motivator tadi, saya segera menutup tulisan setengah jadi itu dengan kata "Rausah teruske sek."

Ini saya anggap sebagai sikap agar saya yang sedari awal memang acuh tak acuh terhadap Pak Ahok, tetap seperti itu. Saya tak ingin ikut-ikutan, terlebih secara serius mengomentari urusan yang sudah ditangani secara profesional oleh yang berwenang dan berhak. Memang, saya, seperti rakyat pada umumnya, boleh-boleh saja mengomentari atau bahkan menghujat bagaimana proses keberlangsungan kasus yang dalam beberapa catatan pengamat muslim, mampu menggerakkan massa sedemikian besar itu.

Kita ini seringkali meneriakkan kebebasan tapi kita sendiri pula yang seringkali memaksakan orang lain untuk tidak bebas. Kita dalam hal ini adalah kita semua, lepas dari sepakat atau tidaknya, mengakui atau tidaknya. Di sisi lain, kita pun gemar meneriakkan perdamaian tapi menyelipkan kebencian dalam teriakan-teriakan kita.
Sejak pemilihan presiden 2 tahun lebih yang lalu, Indonesia ini kian berisik saja masyarakatnya. Yang paling menyedihkan dari keberisikan ini adalah bahwa orang-orang ini (saya, kalian, dan kita semua), lebih suka keberisikan dengan nada saling serang. Sudahlah, bawa kesini muka kalian yang mengaku anti-serang, biar saya pisuhi: Hypocrite!

Sejak tahun 2014 tersebut lah, Indonesia mengalami banyak kenaikan-kenaikan yang terkoreksi negatif. Pengguna internet sejak 2014 hingga 2016 di Indonesia meningkat pesat. Penetrasinya tercatat mencapai 51 persen lebih atau sekitar 80an juta pengguna. Seiring bertumbuhnya pengguna internet kita ini, saya kok agak yakin bahwa orang-orang yang "berperang" ini juga otomatis semakin banyak. Apalagi jika melihat bahwa peperangan yang terjadi, lebih sering terjadi di atas ring yang disebut "Media Sosial".

Indonesia pada hari ini, hanya ada dua kelompok besar yang mana keduanya saya anggap adalah sekumpulan banyak orang-orang bodoh dan dungu dan goblok dan tolol dan sejenisnya. Dua kelompok besar ini, dalam hal apa saja selalu berbeda. Dan perbedaan keduanya, selalu berujung pada keributan. Dan keributannya ini dipertontonkan secara tanpa malu di media-media. Lantas, dengan sangat dungunya mereka ini berkata, "Sudahlah mari kita berdamai".

Damai ndasmu kotak!

Perdamaian yang konon indah itu, saya kira hanya akan menjadi utopis bagi bangsa kita. Bangsa yang bahkan sampai saat ini belum jelas arahnya mau bagaimana, meski sudah pernah dipimpin oleh berbagai jenis kepala, ini sejatinya belumlah sempurna disebut bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Yang menjadi penyadaran bagi saya adalah di situ. Saya ini jauh dari ibukota Jakarta dan juga masih seperti dahulu (mengharamkan kaki menginjak tanah Jakarta). Kalau saya ikut-ikutan menghabiskan pikiran untuk memikirkan urusan di sana, lha ini yang mau peduli pabrik-pabrik kain mori di Pekalongan siapa? Yang mau memikirkan bagaimana desa saya ini menjadi tempat sampah berbagai warga di sekitar desa Simbangwetan, siapa?

Orang cerdas yang sok bijak tentu akan menertawakan pertanyaan remeh saya ini sembari berkata, ya adakalanya kita mikir lingkungan kita, dan adakalanya pula kita mikirin yang jauh-jauh.
Baik, saya sepakat dengan jawaban orang cerdas sok bijaksana tersebut. Tapi bukan Jakarta yang perlu saya bantu pikirkan. Yang lebih jauh dari Jakarta, masih banyak yang perlu dipikirkan. Salah satunya; kejahatan-kejahatan busuk di tanah Papua. Kamu, mau, ikut mikirin mereka?

PLER!
Read more...

PKD dan Diklatsar GP Ansor Buaran Pekalongan

March 28, 2017 0
Gerakan Pemuda Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna di Kecamatan Buaran, Kabupaten Pekalongan (PAC GP Ansor Buaran) mengadakan Pelatihan Kepemimpinan Dasar sekaligus Pendidikan dan Latihan Dasar II yang dilaksanakan di Kecamatan Talun, Kabupaten Pekalongan pada Kamis sore 30 Maret hingga hari Ahad 2 April 2017.
Foto rapat checking panitia PKD-Diklatsar II GP Ansor Buaran Pekalongan. Sumber foto: PAC GP Ansor Buaran
Hari ini, Selasa 28 Maret 2017 saya sudah mulai mempersiapkan diri untuk keperluan mengikuti acara Pelatihan Kepemimpinan Dasar (PKD) Gerakan Pemuda (GP) Ansor serta Pendidikan dan Latihan Dasar (Diklatsar) Barisan Ansor Serbaguna (Banser).

Dalam seminggu terakhir ini, saya banyak membaca-baca berita informasi mengenai PKD dan Diklatsar tersebut. Beberapa video yang menayangkan acara tersebut juga sebagian telah saya tonton. Ini yang saya sebut sebagai pemahaman dasar atas pelatihan dasar-dasar yang nanti akan saya jalani pada acara PKD-Diklatsar tadi. Ini, semacam persiapan agar saya tak terlalu gagap ketika menghadapi pelatihan yang menurut rundown acaranya akan memakan waktu selama 3 hari 3 malam itu.

Jauh sebelumnya, saya menyempatkan diri untuk meminta masukan dari calon istri saya mengenai hal ini. Yang pertama kali saya tanyakan padanya adalah apakah saya harus mengikuti Diklatsar (sejauh ini yang saya ketahui adalah bahwa peserta boleh hanya mengikuti PKD saja atau tanpa mengikuti Diklatsar. Keduanya memang merupakan pelatihan yang, juga sejauh pengetahuan saya, terpisah).

Bumi, demikian panggilan calon pasangan saya itu, menyatakan bahwa saya sebaiknya "sisan ikut keduanya". Nanggung, begitu ungkapnya saat saya mintai masukan beberapa hari lampau.

Dari sana, saya kemudian merasa cukup yakin untuk mengikuti PKD dan Diklatsar ini dengan penuh semangat dan persiapan mental yang pula kuat. Saya sadar, menjadi bagian dari Ansor dan terlebih Banser, artinya saya harus siap berbakti kepada Nahdlatul Ulama (NU), dan tentu saja berbakti kepada bangsa tanah air, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Saya kemudian menaruh harapan yang cukup besar pada diri saya sendiri bahwa semoga saya benar-benar mampu berkhidmah secara taat dan sepenuh hati pada NU dan bangsa ini. Tentu akan sangat lucu kalau saya mengikuti PKD dan Diklatsar tanpa menaruh harapan apapun pada diri saya sendiri demi kebaikan. Sampai detik ini, saya masih yakin bahwa melalui GP Ansor dan Banser inilah saya mampu belajar menjadi manusia yang mampu memanusiakan manusia lain. Dan saya kira, melalui keseriusan menjadi anggota GP Ansor ini saya yakin bahwa salah satu Badan Otonom (Banom) NU ini akan memberi manfaat yang baik bagi diri saya sendiri, serta lingkungan sekitar saya, pula tentu saja bangsa Indonesia secara luas.

Perlu saya sampaikan pula bahwa saya memiliki banyak cita-cita yang saya harapkan mampu saya wujudkan bersama dan melalui tubuh GP Ansor. Salah satu cita-cita tersebut, yang paling dekat dengan hobi saya, adalah saya ingin GP Ansor pro-aktif melawan segala bentuk kazaliman dan kesemrawutan yang pada 2-3 tahun terakhir ini begitu kentara menjadi ciri khas bangsa kita. Kesemrawutan itu, terutama, yang perlu GP Ansor lawan dengan aktif adalah kesemrawutan di ranah media di mana di sanalah semua orang pada hari-hari ini seakan menjadi Nabi atau bahkan menjadi Tuhan semaunya sendiri.

Selain itu, saya juga ingin ikut andil bersama GP Ansor untuk mengejawantahkan slogan-slogan yang sering meriah diteriakkan seperti menjaga keutuhan NKRI karena NKRI adalah harga mati. Saya, dengan segala hormat, ingin ikut berada di barisan GP Ansor dalam menjaga Negara Kesatuan Republik Indonesia tercinta ini. Hal ini senantiasa saya iringkan pula bersama rasa cinta saya terhadap Indonesia, rasa cinta yang telah menjadi kidung patriotis melalui syair karya KH Abd Wahab Hasbullah, Yaa Lal Wathan.

Terakhir, sebelum saya tutup tulisan membahagiakan rupa curhat ini, saya akan menutupnya dengan pemberian harapan kepada Mas Roy Murtadho yang menulis tentang bagaimana kita, muslim Indonesia, mengejawantahkan Hubbul Wathan Minal Iman. Insya Allah, Mas, saya siap menerapkan Hubbul Wathan Minal Iman secara lebih luas dan siap melek terhadap segala permasalahan-permasalahan bangsa yang perlu dukungan dan bantuan kami di GP Ansor. Saya dan kami semua di GP Ansor siap untuk berkaca dan menelaah diri kami demi benar-benar mampu menjadi pecinta tanah air sejati. Tanah air yang bentangannya bukan sekadar Sumatera-Jawa, tetapi membentang hingga Papua. Jika selama ini kami masih terbatas dalam mengimplikasikan kaidah Hubbul Wathan Minal Iman, itu semata menunjukkan bahwa kami pun masih memiliki kelemahan iman, dan tentu hal ini kemudian menjadi dasar bagi kami untuk tidak semena-mena mendakwa setiap perkara dengan hukum-hukum saklek "ini haram, itu halal".

Demikian.
Terimakasih telah membaca, silakan bagikan jika berkenan.

Regards,
Em. 
Read more...

Monday 27 March 2017

Sajak Wagu Karya Leluhur

March 27, 2017 0
Ini adalah sebuah contoh sajak yang entah ditulis oleh siapa, saya menemukannya di antara serak-serakan kertas kusam di suatu ruangan rumah saya. Sajak yang menurut saya sendiri bahkan sangat wagu ini sengaja saya poskan di sini demi sekadar mencari tahu kalau-kalau penulis sajak nan wagu ini suatu hari membaca pos ini. Ini dia!
SW?
Aku sedah begitu yakin akan sebuah cinta
Jiwa dan ragaku, kini telah memiliki satu rasa
Engkaulah yang bagiku satu dari satu-satunya asa
Nada dan irama kini menjadi nyata
Gemuruh menggemakan sukma

Untung dan rugi hanyalah perhitungan matematika
Tiada rumus untuk menghitung sebuah rasa
Apalagi sekadar permainan-permainan logika
Mereka semua hanyalah hiasan yang menghiasiku belaka
Indahmu, bagiku kini, melebihi segalanya

Demi cinta yang aku entah ada dan tiada di dalamnya
Engkaulah yang tiada satu pun kecuali Engkau sendiri bagi semesta
Waktu yang telah lampau mengajariku banyak suka dan duka
Inilah saatnya jiwa dan raga dipersatukan dalam seikat cinta
Saya mengira bahwa itu tulisan lawas leluhur saya entah kakek atau bahkan buyut saya yang pada waktu menuliskan sajak wagu di atas, dalam konsisi antah berantah.

Kepada siapa pun Engkau wahai penulis sajak wagu ini, lihatlah! Lihatlah kini sajakmu kuabadikan ke dalam sebuah laman pribadiku. Kau harus tahu, Kawan, anak-cucumu barangkali perlu membaca sajak wagumu tersebut dengan cucuran air mata bahagia karena bangga memiliki leluhur seluhur Engkau!

Salam. 
Read more...

Friday 24 March 2017

Menulis itu Mudah!

March 24, 2017 0
Ketika kalian membaca judul artikel ini, apa yang sepintas melintas dalam otak kalian? Silakan jawab di kolom komentar, nanti seusai kalian baca keseluruhan isi artikel ini. Sementara, lanjutkan saja aktivitas membaca artikel ini.
Gambar dibikin di www.postermywall.com
Saya bukan seorang penulis hebat layaknya Arman Dhani. Wait, doi penulis hebat, bukan? Sudah, anggap saja beliyaw adalah seorang penulis haibat yang pernah saya dan kita temui di jagad raya bumi yang bulat atau datar ini. Saya sama sekali jauh secara kualitas, kuantitas, serta gantengitas jika dibanding dengan salah satu jurnalis sekaligus kolumnis situsweb tirtoID tersebut. Dan sejujurnya artikel ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan Arman Dhani atau tirtoID sendiri. Heh? Apa-apaan kalian?! Kalian enggak kenal Arman Dhani?! What the hhhhh... ..hawlawalaquwwataillabillah~~

Begini, Sodara-sodaraku sekalian. Saya mengatakan bahwa menulis itu mudah, ini bukan tanpa alasan. Saya berani menyatakan demikian karena saya sudah melepaskan yang namanya target kualitas sebuah tulisan dalam pernyataan saya. Artinya, yang saya maksud dengan menulis itu perkara yang mudah, adalah menulis serampangan seperti yang saya lakukan saat menuliskan artikel ini. Meski demikian, saya akan menjabarkan lebih jauh alasan yang mendasari saya berani-beraninya mengatakan bahwa menulis itu mudah.

Pertama kali, biar sedikit saya menceritakan pengalaman menulis saya pertama kalinya yang saya mulai dari sebuah perguruan tempat saya sekolah. Ia bukan perguruan tinggi karena memang nama sekolah saya sewaktu itu ada kata “Perguruan”nya. Di sekolah tersebut, saya pernah beberapa kali masuk menjadi semacam anggota OSISnya sekolah umum. Dari menjadi anggota--yang saya akan menyebutnya dengan--komite siswa tersebut saya belajar bagaimana merancang sebuah program kerja, lalu mempersidangkannya bersama seluruh komite siswa lain (terdiri dari umumnya organisasi seperti ketua, sekretaris, bendahara, seksi-seksi dan seterusnya), di mana dalam persidangan tersebut, seluruh isi program kerja saya dikritik sekritis-kritisnya oleh anggota lain, pu sebaliknya yang pada intinya kami saling kritik. Beuh, semacam sidangnya para anggota dewan, yah? Y.

Pada pengalaman pertama saya menjadi anggota komite siswa, saya hanya mengikuti alur permainan para pendahulu atau senior-senior saya. Dalam hal ini mengenai bagaimana bagan atau organ dibuat untuk menjelaskan teks-teks program kerja yang saya ajukan, dan bagaimana kemudian program-program tersebut disidangkan (sidang dalam hal pembahasan program ini ada 4 kali yaitu pleno, evaluasi pertama pada caturwulan pertama, evaluasi kedua serta evaluasi ketiga yang sekaligus laporan pertanggungjawaban a.k.a LPJ).

Pada tahun kedua, saya membuat semacam keunikan dalam menyajikan naskah laporan program kerja. Ini terjadi lantaran setiap diksi yang dijadikan laporan program kerja oleh anggota lain, narasinya seragam seperti misalnya “Program ini bertujuan untuk bla bla bla…” Nah, saya tidak menarasikan seperti seksi-seksi lain dalam membuat laporan program kerja tadi. Saya memilih menarasikannya dengan diksi-diksi yang sepuitis mungkin atau setidaknya berbeda dengan diksi pada umumnya.
Awalnya apa yang saya lakukan ini dikritik keras oleh banyak teman-teman sekomite siswa tadi, terutama oleh Sekretaris. Terlebih, mereka keberatan karena laporan saya jadi berlipat-lipat halaman dibanding laporan yang lain. Namun saya keukeuh untuk tetap mengajukan laporan tersebut sesuai diksi saya. Dan ketika disidangkan di hadapan seluruh komite siswa, guru-guru dan pengasuh kami, laporan yang kami buat justru menuai nilai positif dari mayoritas mereka. Saya senang. Hingga rasa senang tersebut memuncak manakala beberapa seksi lain, di periode berikutnya mengikuti jejak saya tersebut.

Bagaimana saya mempelajari penulisan semacam itu?

Suatu kali, saya pernah diberi tugas non-formal oleh salah seorang kawan saya yang saat ini telah sedang menjadi guru Sastra Indonesia di sebuah sekolah negeri di kota saya. Kawan saya yang usianya 6 tahun di atas saya tersebut menyuruh saya menuliskan apapun yang terbersit dalam benak saya setiap kali ia menyebutkan suatu kata. Pada saat itu, ia pertama kali menyebut “gelas”.

Tahu kalian, apa yang saya sebutkan? “Gelas adalah sebuah peralatan yang dipergunakan untuk meminum air, kopi, teh dan lain-lain.” Selanjutnya, barangkali jika waktu itu sudah zamannya kita berseloroh “Krik..krik..krik..” atas suatu perkataan yang garing dan tidak kreatif apalagi inovatif, teman saya tadi mungkin akan segera meng-krik..krik..krik..-an saya. Tapi tidak. Ia justru menertawakan saya. Ia tertawa lantaran saya kehabisan kata-kata hanya sekadar untuk menjelaskan kata “gelas”.

Saya kemudian diberitahu bahwa sebaiknya, saya tidak menggunakan kata “adalah” atau “ialah”, “yaitu”, dan sejenisnya setiap kali menjelaskan sesuatu. Karena dengan memilih kata tersebut, otak kita hanya akan terpaku pada pengertian umumnya saja. Cobalah, kata teman saya tadi, untuk menjelaskan suatu kata dengan diksi lain yang lebih luas, merinci, dan berekor-ekor.

Dengan contoh “gelas” tadi, ia berkata begini, “gelasku berwarna bening sedangkan gelasmu berwarna pekat, ini terjadi karena gelas di hadapanku dijadikan tempat untuk menuang jus, sedangkan gelas pekatmu dijadikan untuk menuang kopi. Kita tahu bahwa tempat kopi tidak dinamakan gelas lagi meskipun dari marga yang sama-sama bisa disebut gelas, namun lebih tepat jika untuk kopi kita sebut sebagai cangkir. Begitu pula untuk teh, cangkir.”

“Lihat. Saya pun memasukkan unsur-unsur yang kamu sebutkan tadi seperti ‘tempat’, air, kopi dan teh. Dan apa yang saya katakan jelas lebih panjang dari sekelumit istilah gelas yang kamu sampaikan tadi.” Katanya kemudian sambil terkekeh. Saya ikut mengekehkan diri sekaligus mengumpat, asu bergumam menyebut nama Tuhan.

Sekarang, lupakan kisah saya di komite siswa, dan lupakan pula obrolan saya dengan teman gila yang seorang guru Sastra Indonesia tadi. Lupakan saja semua itu dan mari kita kembali kepada tema yang hendak saya sampaikan mengenai “Menulis itu Mudah”.

Menulis itu mudah karena pertama, kita jangan sekali-kali menganggap bahwa menulis itu susah, sukar, sulit, berat, dan seterusnya. Yang pertama kali perlu kita tekankan pada otak kita adalah bahwa menulis itu mudah, atau sangat mudah. Jika kita sudah mampu membikin anggapan semacam itu, kita tinggal memilih suatu pokok tema yang ingin kita tulis tanpa perlu menentukan kapan waktunya. Kalian akan menjadi penulis professional kalau setiap aktivitas menulis kalian harus dijadwal. Penulis hebat itu tak harus professional dan tak harus memiliki jadwal ketat apalagi sampai ada deadline kapan tulisan harus selesai. Percayalah, membuat deadline hanya akan menyengsarakan kita sendiri. Yang terpenting, tulislah sesuai pokok tema yang telah ditentukan dengan dasar awal bahwa “menulis itu mudah”.

Selanjutnya, jika dalam perjalanannya kalian menemukan suatu masalah misalnya kehabisan diksi (saya sebetulnya kurang yakin ada istilah
“kehabisan diksi” ini), silakan kalian berhenti sejenak dan keluarlah dari dunia tulis-menulis. Termasuk membaca, juga hindari. Pergilah keluar dan hirup udara yang penuh polusi di kota kalian, selama semau kalian. Jangan kembali untuk menulis lagi kalau mood menulismu belum terkumpul. Tenang saja, ketika kalian sudah memantapkan diri menganggap bahwa menulis itu mudah, kalian akan dengan mudah menemukan mood menulis kapan saja.

Jika sudah terkumpul mood menulis kalian, segera manfaatkan ia sebaik-baiknya. Tulis sebanyak-banyaknya tanpa pedulikan jadwal makan (kecuali makan sahur, kalian harus tahu bahwa ada keberkahan dalam makanan sahur), kencan (kalau kalian non-jomblo), nonton sinetron (kalau kalian Emak-emak), dan segala bentuk aktivitas tersier semacam itu. Hindari itu semua. Tapi untuk aktivitas-aktivitas primer, ya tetap dahulukan. Contohnya, disuruh ibu kalian untuk memarut kelapa (asli saat menulis sampai di sini, saya disuruh Emak saya buat marut kelapa. Beuh.)

Kalau kalian dapat membendung keinginan-keinginan semu untuk memuaskan nafsu kalian melakukan aktivitas tersier seperti di atas, tentu kalian akan dengan lancar jaya menyelesaikan tulisan kalian. Saran saya, beri sedikit data mengenai tulisan saya. Data referensi. Terutama jika tulisan kalian adalah untuk dipublikasi sebagai bentuk informasi. Kan wagu misalnya kalian menulis artikel berita, tapi tidak ada sumber referensi yang dapat dipercaya serta data yang kredibel. Jangan seperti saya menuliskan ini yang sama sekali tanpa referensi.

Pada akhirnya, saya selesai menuliskan artikel tentang “Menulis itu Mudah” ini dengan lega. Meski saya sebenarnya hanya membual tak jelas arahnya, setidaknya saya berhasil membuat artikel yang ideal karena memiliki total kata lebih dari 1000 kata. Saya, memang termasuk orang yang mematok standar jumlah kata untuk tulisan saya. Yaitu minimal 888 kata dan tanpa memberi batas maksimal. Mengapa? Karena, konon, sekali lagi konon, mesin pencari gemar merayapi artikel yang ketat, seksi, bahenol, nyempluk, ginuk-ginuk, semok, dan… Wait, wait, wait, ini ngomongin artikel apa sedang membahas hashtag #OpenBO sih?
Hambuh, Jon!

Betewe, kalau kalian enggak percaya bahwa tulisan saya ini lebih dari 1000 kata, silakan kalian cek jumlah kata, karakter, dan lain-lain di kotak penghitung jumlah kata di sini.

See!
Read more...

Thursday 23 March 2017

Perbedaan Artikel Kontes dan Pribadi

March 23, 2017 1
Beberapa hari ke belakang, saya menuliskan artikel-artikel (ada yang berbentuk narasi sebuah cerita), yang sengaja saya tulis untuk saya ikutkan ke kontes menulis atau kontes blog. Tulisan ini saya bangun berdasarkan pengalaman hari-hari tersebut di mana saya memang merasa perlu mengikuti kontes-kontes semacam itu.
Sumber gambar: The Write Practice
Saya memiliki alasan mengapa saya mau menulis artikel yang saya ikutkan untuk kontes atau lomba atau apapun penyebutannya. Bagi saya secara pribadi, menulis untuk diikutkan ke sebuah kontes, adalah “selingan” daripada lelah menuliskan artikel yang dituntut originalitasnya oleh banyak pakar SEO. Mengapa saya anggap “selingan”? Ya karena memang sekadar selingan agar blog pribadi saya tidak melulu berisi tulisan-tulisan curhatan yang tidak terlalu penting. Seperti tulisan ini, yang sebenarnya hanya sekadar curhatan yang tidak terlalu penting.

Tapi begini maksud saya, Sodara-sodara yang berbahagia. Menulis artikel untuk kontes, rupanya memiliki perbedaan jika dibanding menulis artikel biasa yang tidak untuk diikutkan kontes. Ada kesan berbeda, menulis artikel untuk kontes jika dibandingkan dengan menulis untuk dipublikasikan sendiri tanpa diikutsertakan lomba atau kontes. Saya mencatat ada beberapa perbedaan dalam hal semacam ini.

Pertama, menulis artikel untuk kontes selalu terpaku pada suatu pokok tema tertentu. Kalian yang pernah atau sering menulis artikel untuk kontes, tentu paham bagaimana mereka yang mengadakan kontes selalu tidak membebaskan kita untuk membahas tema semau kita. Pada kontes yang diadakan oleh perusahaan, bahkan sering yang intinya tulisan kita harus memuat “hal-hal baik” mengenai perusahaan yang bersangkutan.

Sedangkan dalam menulis artikel yang tidak diikutsertakan pada kontes atau lomba, kita dapat menentukan sediri tema apa yang ingin kita tulis. Kita bisa pada hari ini menulis tentang “tata cara menulis dengan baik dan benar” di blog kita, lalu besok secara semena-mena kita menulis artikel lain yang tidak ada kaitannya dengan artikel pertama, misalnya “kiat-kiat menjadi jomblo berkualitas”.

Pada kesimpulannya, perbedaan mengenai menulis artikel untuk kontes atau lomba dan menulis tidak untuk lomba yang pertama yaitu bahwa tema artikel untuk kontes terbatas. Sedangkan tema artikel yang kita tulis bukan untuk lomba lebih bebas.

Kedua, deadline atau batas waktu. Kita tidak bisa semau-mau kita menuliskan artikel untuk kontes yang memiliki deadline pada akhir bulan Maret ini misalnya, kita menulis artikelnya pada pertengahan April. Tentu artikel yang kita tulis melewati deadline yang ditentukan pihak penyelenggara kontes tidak mungkin dapat diikutkan ke kontes yang bersangkutan.

Beda dengan artikel yang tidak akan kita ikutkan ke kontes. Kita dapat dengan semau kita menentukan deadline sendiri. Misal, kita ingin menuliskan artikel berkualitas (informatif, aktual, faktual serta bukan hoax) mengenai suatu tema tertentu, maka kita dapat menentukan kapan saja kita akan menulis serta mempublikasikannya. Deadline alias batas akhirnya kita sendiri yang menentukan. Bahkan untuk ukuran pemalas seperti saya dapat menentukan batas akhir penulisan artikel tahun depan meski pengumpulan data sudah mencapai 95 persen. Atau, bisa juga kita tidak memberikan deadline kapan kita akan mempublikasikan tulisan kita karena intinya, blog-blog gue, tulisan-tulisan gue, bebas dong mau gue publikasikan kapan aja! Cih!

Intinya, untuk menulis artikel untuk kontes, kita dibatasi oleh waktu, selain tema seperti pada poin pertama tadi. Sedangkan untuk artikel yang bukan untuk kontes, kita bebas menentukan sendiri deadline-nya atau bahkan tanpa deadline sekalipun.
Dua poin tersebut, tidak berguna bagi kalian yang tidak memiliki blog pribadi. Kalian yang blog atau situswebnya “barengan” alias satu digarap banyak orang, tentu punya kebijakan-kebijakan sendiri terkait tema yang akan dituliskan serta deadline waktunya. Artinya, ini juga tidak berlaku bagi penulis-penulis pada media tertentu yang biasanya para penulis ini sudah memakai standar kaidah jurnalisme yang ketat.
Ketiga, artikel yang kita ikutkan untuk kontes biasanya kita tulis dengan terpacu oleh hadiah. Nah, ini terserah kalian mau mengakui atau tidak, tapi saya cukup yakin bahwa kalian tidak mungkin menulis artikel kontes tapi tidak mengharapkan hadiahnya. Sudah, jujur dan mengakulah. Biar saya ada temannya. Karena, saya pun beberapa hari lalu ketika gencar mengikuti kontes-kontes itu, ya merasa terpacu menulis oleh hadiah yang disediakan penyelenggara. Hehehehe.

Ini tentu berbeda dengan tulisan kita yang tidak kita niati untuk kontes. Tulisan bebas kita yang hanya sekadar untuk memperbanyak post di blog kita, tidak kita harapkan akan memperoleh hadiah. Mentok, semisal kita harapkan hadiah, paling sekadar hadiah komentar dari pembaca atau pengunjung yang membaca artikel kita cukup banyak, di atas 1.000.000 pembaca misalnya. Yang jelas, kita tidak mengharapkan hadiah yang spesifik layaknya artikel untuk lomba yang biasanya berhadiah menggiurkan seperti misal hadiahnya iphone 9 (eh, ada belum iphone 9?) dan lain-lain.

Kesimpulan poin ketiga ini yaitu bahwa saat menulis artikel untuk kontes, kita terpacu menulis dengan baik karena adanya hadiah, meski hadiah tersebut masih sekadar harapan karena belum tentu kitalah yang akan mendapatkannya. Sedangkan saat menulis artikel yang tidak akan kita ikutkan kontes, kita tak memiliki harapan akan adanya hadiah dari siapapun. Kecuali, kecuali tentu saja kalian memiliki pasangan (baca: pacar/istri/suami) yang siap memberi hadiah tiap kali kalian update artikel di blog kalian. Ada?

Keempat, memberikan backlink ke penyedia kontes. Sebelum saya terangkan, kalian sedikitnya sudah paham, kan? Nah, iya. Begitu. Tiap kontes yang biasanya diadakan oleh instansi atau perusahaan tertentu, pastinya berharap Domain Authority (DA) untuk situsweb mereka naik. Salah satu cara menaikkan DA, menurut beberapa pakar SEO, kan dengan mendapatkan backlink dari berbagai pihak. Kalian, saat menuliskan artikel untuk kontes, kan artikelnya pasti berbau yang baik-baik tentang instansi atau perusahaan yang mengadakan kontes. Iya, kan? Nah, di situlah. Konten yang kalian tulis untuk kontes adalah hal-hal baik di mana beberapa kata dalam artikel tersebut kalian tanami backlink yang mengarah ke situsweb mereka. Jelas mereka diuntungkan oleh hal seperti ini, dan ini seringkali menjadi peraturan wajib yang tak boleh dilanggar oleh peserta atau kalian akan segera didiskualifikasi jika nekat melanggarnya. Eh, bener nggak, sih?

Bedanya dengan artikel yang tidak untuk kontes. Kalian tidak diwajibkan menanam backlink ke mana pun. Kalian paling banter, merasa perlu memberi backlink ke situs-situs besar semacam Wikipedia untuk meyakinkan pembaca. Dan ini bukan merupakan kewajiban. Kalian boleh-boleh saja tidak menyertakan backlink yang mengarah ke situs lain meskipun kalian menjadikan situs lain tersebut sebagai referensi tulisan kalian. Badewei, saya teranggap enggak suka kalau kalian menuliskan artikel yang diksinya memiliki referensi tapi kalian tidak menyertakan link referensi tersebut pada artikel kalian. Itu copas yang tidak dianjurkan, Sodara!

Pada kesimpulannya, artikel yang kita tulis untuk ikut kontes, selalu mewajibkan kita menanam backlink pada suatu bagian tertentu yang kita arahkan ke situsweb yang mengadakan kontes yang intinya agar situsweb mereka dikenal “situsweb baik-baik” oleh berbagai robot-robot di mesin pencari. Sedangkan artikel kita yang tidak kita kehendaki untuk kontes, kita bebas untuk menanam backlink atau tidak.


We help carve your future. oleh Em Choled


Begitulah kira-kira dalam pandangan saya mengenai perbedaan artikel kontes dan pribadi. Ada barangkali perbedaan lain yang ada dalam pikiran kalian. Silakan kalian tambahi melalui komentar (kurang dianjurkan), atau melalui tulisan lain dengan bahasa kalian sendiri (sangat dianjurkan).

Terakhir, satu hal yang saya gemari dari mengikuti kontes menulis semacam itu adalah saya jadi memiliki tambahan wawasan karena suatu tema atau topik yang mereka (penyelenggara kontes) patok seringkali suatu hal yang tak banyak saya ketahui yang akhirnya saya jadi membaca lebih banyak mengenai suatu tema tersebut untuk referensi. Serta, saya jadi belajar bagaimana menjadi penulis professional karena saya yakin setiap penulis professional selalu memiliki target suatu tema tertentu dan memiliki deadline yang juga menjadi harga mati baginya.
 
Sekian.
Terimakasih. 
Salam,
Em.
Read more...