Foto bersama Gerakan Anak Bangsa di Binagriya, Pekalongan |
Malam
minggu lalu, 17 Juni 2017, saya diajak oleh kawan saya untuk mengikuti sebuah
pertemuan yang mana penggagas pertemuan tersebut berasal dari Yogyakarta,
bernama Hariyanto (di sana ia dipanggil Mas Har). Pertemuan oleh Gerakan Anak
Bangsa (Gerbang) tersebut merupakan pertemuan orang-orang yang aktif sebagai
jamaah Maiyahnya Emha Ainun Nadjib (Cak Nun). Karena itulah, dalam pertemuan
tersebut saya mendapati cukup banyak orang-orang yang saya kenali beberapa
tahun ke belakang, menjadi bagian dari penggiat Maiyah Suluk Pesisiran
Pekalongan.
Saat
tiba di ruang pertemuan tersebut, saya sekali takjub karena ruangan yang
dipakai sungguh jenis ruangan yang sangat nyaman untuk sebuah acara-acara
semacam diskusi dan sejenisnya. Hampir keseluruhan dinding ruangan tersebut
terbuat dari ukir-ukiran kayu yang setiap kali saya amati, saya akui membikin
saya mengulang-ulang rasa takjub. Di sana, acara sudah mulai dan tengah ada
seorang pria berpeci hitam sedang berbicara. Sejenak, saya belum dapat
menangkap apa yang dibicarakan si pria berpeci hitam tersebut.
Barulah
setelah saya duduk ala tahiyyat awal dalam salat sekitar 5 menitan, saya mulai
dapat menangkap apa yang dipaparkan oleh si pria berpeci hitam. Belakangan, si
pria berpeci hitam ini saya ketahui bernama Muhammad Imaduddin (Mas Imad). Dan di
belakangnya lagi kemudian saya juga mengerti bahwa ia termasuk kontributor situsweb
favorit saya: Mojok.co.
Usai
Mas Imad mengakhiri pembicaraannya mengenai kebangsaan, atau kira-kira kondisi
bangsa Indonesia saat ini dan tarik ulurnya pada waktu lampau dan terkaan masa
depan, disambung oleh pembicaraan Mas Har. Bukan sekadar berbicara layaknya
diskusi sederhana, Mas Har juga “beraksi” dengan berdiri di depan salah satu
dinding yang telah ditempeli kertas sampul buku berwarna cokelat itu. Ia berbicara
sembari menuliskan beberapa hal dan sesekali membentuk diagram-diagram
sederhana untuk mempertegas penjelasannya mengenai kebangsaan.
Yang
saya catat, Mas Har menguraikan bahwa di Indonesia ini terdapat dua jenis “pemimpin”.
Pemimpin yang pertama disebut sebagai pemimpin struktural, gampangnya presiden.
Dan pemimpin jenis yang kedua yaitu pemimpin kultural, yang bisa dimaknai
sebagai para Imam, Kyai atau Ulama yang menjadi panutan masyarakat. Di antara
kedua jenis pemimpin ini, ada celah yang begitu jauh dan runyam sehingga
keduanya nyaris tak bisa dipersatukan. Mengapa demikian? Jawabannya karena
orientasi kedua jenis pemimpin ini memang jauh berbeda. Yang struktural harus
tunduk pada sistem (mudahnya sistem pemerintahan saat ini: demokrasi),
sedangkan pemimpin kedua, pemimpin kultural, ingin lebih menonjolkan bahwa
mereka lebih tunduk pada Sang Khaliq.
Mas
Har kemudain melanjutkan narasinya dengan menyerempet ranah global. Tentang perusahaan
multinasional, tentang kongkalikong politisi Indonesia dengan pengusaha, dan
seterusnya dan seterusnya. Saya mulai tertarik dan tergugah untuk mencatat
sesuatu. Namun sayang sekali, saya hanya membawa sebuah pulpen tanpa buku catatan.
Dalam kondisi seperti itu, saya mengumpat keras-keras dalam hati karena tak
membawa peralatan tulis menulis untuk mencatat hal-hal yang menurut saya
penting untuk dicatat. Kalau kalian berpikir dan bertanya mengapa saya tak
mencatat melalui ponsel, jawabannya menyedihkan; ponsel yang saya bawa malam
itu merupakan ponsel Nokia 1600.
Akhirnya
saya tak peduli dan terus saja menyimak apa yang disampaikan Mas Har. Di tengah
penjelasan lanjutannya, tangan kiri saya tiba-tiba tergerak untuk merogoh saku
celana kiri saya. Dan agak mengejutkan, di dalam saku celana jins yang sudah 3
bulan tak saya cuci itu saya temukan selembar kertas. Selembar kertas sobekan
buku merk Kiky. Saya tersenyum dan segera memanfaatkannya untuk mencatat
beberapa hal. Saat itulah saya segera berdzikir menyebut asma Allah.
Mas
Har juga menerangkan bahwa inti pergerakan yang tengah dibangun ini bukan
pergerakan yang sifatnya eksklusif. Kalau massif, harapannya iya massif, tapi
tidak eksklusif. Saya jadi tahu bahwa rupanya inti dari gerakan ini adalah
mendorong orang-orang alim-allamah untuk bersatu mengadakan musyawarah yang di
dalamnya membahas perihal kebangsaan. Mendorong para ulama untuk mencetuskan
ide-ide atau rumusan bagaimana nasib bangsa Indonesia ini ke depannya.
Dalam
penjelasannya yang lebih mendetail, pergerakan ini nantinya akan berjalan
dalam, setidaknya tiga tahap; pertama, Gerakan Makmuman 1 yaitu gerakan
menyadarkan diri sendiri dan lingkungan terdekatnya untuk benar-benar paham
serta sepenuhnya sadar bagaimana kita sebagai masyarakat memilih pemimpin yang
benar-benar ideal. Kedua, Gerakan Makmuman 2, yaitu kita sebagai masyarakat
yang telah sadar bagaimana dan siapa pemimpin yang layak menjadi imam kita,
melaksanakan deklarasi; Deklarasi Makmum. Deklarasi bahwa kita, dalam lingakran
orang-orang yang telah sepaham dan sekesadaran yang sama, mendeklarasikan bahwa
Kyai A, Habib B, Syaikh C atau Imam D dan seterusnya merupakan imam di mana
kita berdiri di belakangnya sebagai makmumnya. Ketiga, atau yang menjadi puncak
pergerakan ini, yaitu terwujudnya Musyawarah Imam Bangsa. Yaitu adanya
musyawarah persatuan antara para Kyai, Habaib, Masyayikh, Aimmah dan seterusnya
untuk memusyawarahkan hal-hal yang berkaitan dengan kepemimpinan bangsa
Indonesia.
Penjelasan
Mas Har, semakin ke sini semakin menarik. Terlebih ia memberi selingan
guyon-guyon yang menambah kesejukan suasana. Saya terhanyut meski beberapa hal
yang disampaikan olehnya ada yang sudah pernah saya dengar dan atau baca di
lain tempat dan konsisi, seperti misalnya tentang terrorisme yang sengaja
disusupi terroris bikinan barat, tentang kegalauan seorang presiden, dan
lainnya.
Mas
Har kemudian menutup penjelasannya dan langsung disambung beberapa patah kata
oleh seorang yang dipanggil dengan nama Teguh. Mas Teguh dan Mas Hariyanto
inilah dua orang penggagas utama Gerakan Anak Bangsa (Gerbang). Sampai saya
menuliskan ini, saya masih belum tahu bagaimana latar belakang keduanya secara
pribadi. Dan sampai di sini pula, saya belum tertarik untuk menggali
kepribadian kedua orang ini. Sejauh yang saya tahu, keduanya merupakan penggiat
yang aktif di Maiyah Yogyakarta. Kalau boleh saya sampaikan di sini,
orang-orang yang telah aktif sebagai jama’ah Maiyah, memang sering menularkan
kesan menyenangkan, bersahabat, humoris, serta nyaman dalam berkomunikasi.
Mas
Teguh ini tidak terlalu banyak memaparkan perkara. Saya bahkan tak mencatat
apapun dari apa yang disampaikannya. Seingat saya, Mas Teguh lebih banyak
bercerita soal pengalamannya bertemu orang-orang di berbagai kota, yang
dijelaskan mengenai Gerbang itu sendiri. Mas Teguh, sekali lagi seingat saya,
lebih sering bercerita soal bagaimana reaksi orang-orang yang mendengar gagasan
tentang Gerbang ini di berbagai kota yang telah dikunjunginya.
Waktu
yang kemudian bergulir, akhirnya sampai pada sesi tanggapan atau sejenis
tanya-jawab. Saya juga kemudian baru tahu bahwa pertemuan itu, pembawa acaranya
adalah Eko Suprihan atau kita panggil saja Mas Eko. Dan tanpa basa-basi, Mas
Eko langsung melemparkan waktu kepada seluruh peserta yang hadir dalam
pertemuan tersebut untuk menanggapi, atau bertanya utamanya tentang Gerbang
yang runtutannya telah disampaikan oleh Mas Imad, Mas Teguh dan tentu Mas Har.
Saya
celingak-celinguk karena jujur saja bingung mau tanya apa. Tapi setelah 10
detik hingga belasan detik tak ada peserta yang angkat tangan setidaknya untuk
bertanya. Saya beranikan diri untuk mengangkat tangan. Langsung. Langsung saja
saya kemudian gemetar. Entah ini jenis penyakit apa, saya selalu gemetar tiap
kali ngomong di depan banyak orang, yang belum terbiasa ngobrol sama saya. Meski
begitu, meski terbata-bata, saya akhirnya mampu menyampaikan tiga pertanyaan.
Kurang
lebih beginilah pertanyaan saya: pertama, siapa dan bagaiaman kriteria imam
yang kita sebagai makmum harus kita pilih? Kedua, apakah kita sebagai makmum
ini memiliki kewenangan untuk “menyetir” para imam tersebut? Ketiga, setelah
imam-imam itu terpilih dan terbentuk, kita sebagai makmum, harus ngapain?
Ketiga
pertanyaan saya tersbut, secara pelan-pelan dijawab oleh Mas Har. Dalam menjawab
pertanyaan pertama saya, Mas Har mengatakan bahwa kurang lebih kriteria ulama
yang seharusnya kita pilih menjadi imam kita adalah mereka yang sedikit banyak
terbukti mampu mengayomi dan mengajak ke jalan Allah. Ini bisa siapa saja, tak
harus ulama besar yang memiliki massa ribuan atau jutaan, kyai kampung pun bisa
kita pilih untuk menjadi imam kita dan kemudian pada Gerakan Makmuman 2, kita
deklarasikan bahwa kyai kampung pilihan kita itulah ulama yang kita ajukan
untuk menjadi imam kita.
Pertanyaan
kedua dijawab dengan sedikti cerita. Mas Har menggambarkan kita ini mau salat
berjamaah. Nah, dalam salat berjamaah ini ketika ada imam yang bacaan dan atau
gerakannya salah, maka yang bertanggungjawab untuk membenarkan adalah makmum. Maka
dari itu, pertanyaan saya tadi bisa disebut memiliki jawaban bahwa iya, kita
sebagai makmum pada imam yang kita pilih, boleh memberi masukan dan kritik
apapun terhadap imam kita.
Dan
untuk pertanyaan terakhir, yang oleh Mas Teguh dianggap sebagai pertanyaan baru
yang di berbagai pertemuan menjelaskan soal Gerbang di lain kota belum pernah
ditanyakan, merupakan pertanyaan yang Mas Har dan Mas Teguh belum mampu
menjawabnya. Dijelaskan oleh Mas Har kurang lebih begini, intinya kita ini
sebagai masyarakat yang mau menyadari bagaimana kondisi bangsa, kita fokus pada
prosesnya saja dulu. Persoalan bagaimana nanti hasilnya, kita serahkan
sepenuhnya kepada Allah.
“Aku
dewe yo jan-jane bingung, Mas. Iki nak wes kelakon ono musyawarah imam bangsa
kui terus dewe ngopo, yo?” begitu tukas Mas Har menutup jawaban pertanyaan
terakhir saya.
Selanjutnya,
masih ada beberapa peserta yang kemudian memberi tanggapan dan juga membuka
pertanyaan lain. Dalam catatan saya, ada Mas Ribut Achwandi (penggiat dan
pendiri Omah Sinau Sogan/Teater Sinau Sogan), lalu ada pula Ustadz Hamam, Pak
Aya’, serta seorang lagi dari Pemalang yang saya lupa namanya.
Pada
akhirnya, pertemuan malam itu memang baru sebatas pengenalan dan sedikit
penjelasan mengenai bagaimana model pergerakan Gerakan Anak Bangsa (Gerbang)
ini akan diwujudkan. Adapun detail teknisnya, diakui oleh Mas Har dan Mas
Teguh, memang belum sepenuhnya matang dan masih terus digodok oleh tim lain di
Yogyakarta. Catatan pentingnya, barangkali perlu saya sedikit urai di sini,
bahwa pergerakan ini memang digagas oleh orang-orang yang dekat dengan Cak Nun
serta yang diajak pun lebih banyak orang-orang Maiyah. Di sini, muncul
pertanyaan, apakah Cak Nun meyetujui apa yang digagas dan dilakukan oleh
orang-orang ini? Mas Har memberi penjelasan bahwa sebelum mengadakan sarasehan
pertama di, —kalau tidak salah di Surabaya—terlebih dahulu memberitahu Cak Nun.
Dan jawaban Cak Nun adalah; “iki tak sinauni dhisik, kowe juga sinau meneh.”
Dan ketika Mas Har kemudian telah mulai berjalan serta mendapati perkembangan
yang ada, Mas Har pun melaporkannya kepada Cak Nun. Jawaban Cak Nun, “Sinau
terus.”
Yang
saya tangkap kemudian adalah, bahwa Gerbang ini memang dibikin bukan untuk
menambah keriuhan bangsa. Orang-orang ini, tidak berkehendak untuk membikin
bangsa kian riuh dengan mengadakan gerakan-gerakan dalam bingkai demonstrasi. Sama
sekali bukan. Pergerakan dalam Gerbang ini, dalam pandangan saya pribadi,
merupakan gerakan penyadaran diri sendiri akan pentingnya mengenali siapa diri
kita masing-masing, sebelum kita pura-pura mengenal orang lain. Dan juga,
Gerbang, barangkali merupakan sebuah gerbang untuk kita terus belajar. Dan barangkali
pula, jika gerbang ini telah terbuka, kita akan menemu sebuah kota yang penuh
dengan nur, yang memberi penerangan atas jalan kita menuju Allah Yang Maha Esa.
No comments:
Post a Comment