Sunday 9 July 2017

#

Bukan Kodrah Lurah Desa Simbang Wetan

 
Jum’at siang, saya terkaget-kaget karena melihat ratusan orang berkumpul di Balai Desa Simbang Wetan, desa saya tinggal. Sejenak kemudian, kekagetan saya berubah menjadi kebahagiaan melihat warga di desa saya yang berkumpul di Balai Desa tersebut. Senang sekali rasanya, akhirnya warga sedesa saya ini mau berkumpul dalam sebuah forum penting. Bukan, ini bukan acara pemilihan kepala desa baru atau yang kerap kami sebut “kodrah lurah” itu. Melainkan ini adalah perkumpulan warga yang entah apa sebabnya, akhirnya mau berkumpul demi menimba ilmu, ilmu soal jurnalistik.

Ya, betul sekali. Ratusan warga di desa saya tersebut berkumpul untuk mengikuti Pelatihan Jurnalistik. Yang paling bahagia dari antusiasme masyarakat desa Simbang Wetan ini tentu saja adalah para mahasiswa KKN dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Pekalongan yang menginisiasi program pelatihan tersebut. Namun demikian, kebahagiaan saya tak kalah besar dibanding yang mereka rasakan.

Sebagai pemuda warga desa Simbang Wetan, saya turut bahagia melihat keadaan ini. Inilah perubahan. Inilah langkah yang menuju pada kemajuan desa. Inilah apa yang disebut sebagai semangat masyarakat dalam menatap masa depan.

Kita tahu bahwa hidup di zaman sekarang, kita sebagai manusia memang perlu melek terhadap teknologi. Lebih dari itu, kita pun perlu melek dalam dunia jurnalistik agar kita sama-sama bisa mengoreksi setiap kejadian, mencatatkan peristiwa, dan saling berbagi kabar dengan baik, tidak menyinggung dan memojokkan salah satu pihak. Melek media, menjadi sebuah pintu gerbang bagi masyarakat agar tidak mudah termakan isu-isu negatif terlebih isu tak berdasar, isu bohong atau hoax.

Pukul setengah dua siang usai Jumatan, ratusan warga di desa saya ini sudah duduk rapi di dalam gedung Balai Desa. Di bagian kiri, duduk warga perempuan dari desa kami. Sedangkan di barisan kanan, para lelaki duduk manis, saya berada di barisan ini bersama pemuda lain seusia saya, bersama sahabat-sahabat saya di Gerakan Pemuda (GP) Ansor.

Semuanya, berkumpul menjadi satu dalam ruangan tersebut, mulai dari remaja, pemuda, hingga bapak-bapak dan ibu-ibu. Sungguh, bagi kedua mata saya, pemandangan ini jauh lebih indah dari segala pemandangan apapun atas nama alam. Inilah pemandangan alam yang sesungguhnya.

Lima menit lewat dari jam setengah dua, beberapa mahasiswa KKN IAIN Pekalongan maju ke depan menghadap kami. saya hitung jumlah mahasiswa yang maju ke depan tersebut ada 5 orang. Dua di antaranya, keduanya perempuan, kemudian memilih berdiri dan segera mengucapkan salam sebagai pertanda dimulainya kegiatan pelatihan jurnalistik yang mereka gagas tersebut.

Sedangkan tiga temannya yang lain, satu di antaranya (seorang perempuan juga) menghadap layar laptop, ialah yang mengatur slide presentasi yang layarnya terpampang di sudut ruangan yang cukup gelap. Sisanya, dua mahasiswa duduk sambil tiada henti mengulas senyum seakan pertanda bahwa mereka begitu bahagia melihat animo masyarakat desa saya atas program mereka.

Kedua mahasiswa yang sedari tadi tersenyum manis itu kemudian diberi waktu untuk mulai memaparkan satu demi satu materinya. Secara bergantian, kedua mahasiswa tersebut nampak begitu kompak. Jika diibaratkan, mereka nyaris seperti dua vokalis yang tengah berduet. Berhubung keduanya adalah lelaki, saya membayangkan keduanya adalah Mike Shinoda dan Chester Bennington, duo pentolan band asal Amerika, Linkin Park.

Materi demi materi disampaikan dengan sangat rapi oleh kedua mahasiswa yang rupanya kedua mahasiswa ini adalah mahasiswa pascasarjana yang sudah cukup lama menggeluti dunia tulis menulis, terutama dunia jurnalistik. Si “Mike Shinoda” pada akhirnya menutup materinya dengan kutipan yang ia ambil dari perkataan Imam Al Ghazali tentang menulis yang kira-kira begini: “Jika kau bukan anak seorang raja atau ulama, maka menulislah.”

Tanpa dikomando terlebih dahulu, ratusan peserta yang kesemuanya adalah warga desa Simbang Wetan itu bertepuk tangan. Seakan semua warga tersebut mengamini segala apa yang diucapkan oleh pemateri. Terlebih, seakan para warga desa Simbang Wetan ini benar-benar paham sepenuhnya apa yang telah disampaikan oleh kedua pemateri kita. Saya pun ikut bertepuk tangan. Bukan untuk pemateri, tetapi untuk semangat para warga desa saya tadi yang sejak acara dibuka, semuanya dengan antusias memerhatikan penjelasan pemateri sambil sesekali mencatat sesuatu di buku catatan yang diberikan oleh penyelenggara, yaitu para mahasiswa KKN itu.

Ah, senang sekali rasanya saya menyaksikan hal ini. Bagi saya, ini merupakan hari paling menyenangkan dibanding hari-hari lain. Inilah Jumu’ah Mubarokah yang sesungguhnya. Jumat yang penuh dengan keberkahan nan sejati. Hari Jumat adalah hari besar bagi umat Islam, pun bagi warga desa saya Simbang Wetan karena sebagian besar masyarakatnya memiliki hari libur pada hari Jumat tiap minggunya. Namun, dari kesekian hari Jumat yang pernah saya lalui, ini merupakan hari Jumat terbesar. Ingin sekali rasanya saya meneriakkan takbir di gedung Balai Desa ini.

Berikutnya, belum sempat saya meneriakkan takbir, dua mahasiswa perempuan sang pembawa acara tadi, salah satunya kini mengambil alih forum dan menjadi moderator jalannya pelatihan jurnalistik ini. Ia membuka sesi tanya-jawab. Saat ia melemparkan kepada seluruh peserta, banyak sekali peserta yang kesemuanya merupakan warga desa ini mengangkat tangan sebagai tanda ingin bertanya. Tangan saya juga ikut saya angkat karena memang ada yang ingin saya tanyakan.

Saat seorang mahasiswa lain menyerahkan microphone kepada saya, saya diminta berdiri untuk memperkenalkan diri sekaligus dipersilakan untuk bertanya.

Saat itulah, sayup-sayup telinga saya mendengar suara Emak saya memanggil. Tak selang berapa lama, suara Emak saya kian jelas dan kian keras.

“Lha wis ra, tangi. Jumatan! Wis jam setengah rolas kae wis adzan mesjid’e.”

Bukannya segera menuju kamar mandi untuk segera mandi Sunnah Jum’at, saya justru termenung. Mengingat-ingat jalannya mimpi barusan. Saat Emak saya sekali lagi memanggil saya, barulah saya bangkit dan mengumpat, “Asem!” Bukan saya tujukan ke Emak saya, ya. Itu umpatan saya tujukan ke diri saya sendiri yang baru saja menemu mimpi paling buruk sepanjang masa; mimpi dapat mengumpulkan ratusan warga desa Simbang Wetan dalam forum keilmuan.

*Tulisan ini pertama kali diterbitkan melalui akun Facebook pribadi saya.

No comments:

Post a Comment