Friday 24 March 2017

#

Menulis itu Mudah!

Ketika kalian membaca judul artikel ini, apa yang sepintas melintas dalam otak kalian? Silakan jawab di kolom komentar, nanti seusai kalian baca keseluruhan isi artikel ini. Sementara, lanjutkan saja aktivitas membaca artikel ini.
Gambar dibikin di www.postermywall.com
Saya bukan seorang penulis hebat layaknya Arman Dhani. Wait, doi penulis hebat, bukan? Sudah, anggap saja beliyaw adalah seorang penulis haibat yang pernah saya dan kita temui di jagad raya bumi yang bulat atau datar ini. Saya sama sekali jauh secara kualitas, kuantitas, serta gantengitas jika dibanding dengan salah satu jurnalis sekaligus kolumnis situsweb tirtoID tersebut. Dan sejujurnya artikel ini sama sekali tidak ada kaitannya dengan Arman Dhani atau tirtoID sendiri. Heh? Apa-apaan kalian?! Kalian enggak kenal Arman Dhani?! What the hhhhh... ..hawlawalaquwwataillabillah~~

Begini, Sodara-sodaraku sekalian. Saya mengatakan bahwa menulis itu mudah, ini bukan tanpa alasan. Saya berani menyatakan demikian karena saya sudah melepaskan yang namanya target kualitas sebuah tulisan dalam pernyataan saya. Artinya, yang saya maksud dengan menulis itu perkara yang mudah, adalah menulis serampangan seperti yang saya lakukan saat menuliskan artikel ini. Meski demikian, saya akan menjabarkan lebih jauh alasan yang mendasari saya berani-beraninya mengatakan bahwa menulis itu mudah.

Pertama kali, biar sedikit saya menceritakan pengalaman menulis saya pertama kalinya yang saya mulai dari sebuah perguruan tempat saya sekolah. Ia bukan perguruan tinggi karena memang nama sekolah saya sewaktu itu ada kata “Perguruan”nya. Di sekolah tersebut, saya pernah beberapa kali masuk menjadi semacam anggota OSISnya sekolah umum. Dari menjadi anggota--yang saya akan menyebutnya dengan--komite siswa tersebut saya belajar bagaimana merancang sebuah program kerja, lalu mempersidangkannya bersama seluruh komite siswa lain (terdiri dari umumnya organisasi seperti ketua, sekretaris, bendahara, seksi-seksi dan seterusnya), di mana dalam persidangan tersebut, seluruh isi program kerja saya dikritik sekritis-kritisnya oleh anggota lain, pu sebaliknya yang pada intinya kami saling kritik. Beuh, semacam sidangnya para anggota dewan, yah? Y.

Pada pengalaman pertama saya menjadi anggota komite siswa, saya hanya mengikuti alur permainan para pendahulu atau senior-senior saya. Dalam hal ini mengenai bagaimana bagan atau organ dibuat untuk menjelaskan teks-teks program kerja yang saya ajukan, dan bagaimana kemudian program-program tersebut disidangkan (sidang dalam hal pembahasan program ini ada 4 kali yaitu pleno, evaluasi pertama pada caturwulan pertama, evaluasi kedua serta evaluasi ketiga yang sekaligus laporan pertanggungjawaban a.k.a LPJ).

Pada tahun kedua, saya membuat semacam keunikan dalam menyajikan naskah laporan program kerja. Ini terjadi lantaran setiap diksi yang dijadikan laporan program kerja oleh anggota lain, narasinya seragam seperti misalnya “Program ini bertujuan untuk bla bla bla…” Nah, saya tidak menarasikan seperti seksi-seksi lain dalam membuat laporan program kerja tadi. Saya memilih menarasikannya dengan diksi-diksi yang sepuitis mungkin atau setidaknya berbeda dengan diksi pada umumnya.
Awalnya apa yang saya lakukan ini dikritik keras oleh banyak teman-teman sekomite siswa tadi, terutama oleh Sekretaris. Terlebih, mereka keberatan karena laporan saya jadi berlipat-lipat halaman dibanding laporan yang lain. Namun saya keukeuh untuk tetap mengajukan laporan tersebut sesuai diksi saya. Dan ketika disidangkan di hadapan seluruh komite siswa, guru-guru dan pengasuh kami, laporan yang kami buat justru menuai nilai positif dari mayoritas mereka. Saya senang. Hingga rasa senang tersebut memuncak manakala beberapa seksi lain, di periode berikutnya mengikuti jejak saya tersebut.

Bagaimana saya mempelajari penulisan semacam itu?

Suatu kali, saya pernah diberi tugas non-formal oleh salah seorang kawan saya yang saat ini telah sedang menjadi guru Sastra Indonesia di sebuah sekolah negeri di kota saya. Kawan saya yang usianya 6 tahun di atas saya tersebut menyuruh saya menuliskan apapun yang terbersit dalam benak saya setiap kali ia menyebutkan suatu kata. Pada saat itu, ia pertama kali menyebut “gelas”.

Tahu kalian, apa yang saya sebutkan? “Gelas adalah sebuah peralatan yang dipergunakan untuk meminum air, kopi, teh dan lain-lain.” Selanjutnya, barangkali jika waktu itu sudah zamannya kita berseloroh “Krik..krik..krik..” atas suatu perkataan yang garing dan tidak kreatif apalagi inovatif, teman saya tadi mungkin akan segera meng-krik..krik..krik..-an saya. Tapi tidak. Ia justru menertawakan saya. Ia tertawa lantaran saya kehabisan kata-kata hanya sekadar untuk menjelaskan kata “gelas”.

Saya kemudian diberitahu bahwa sebaiknya, saya tidak menggunakan kata “adalah” atau “ialah”, “yaitu”, dan sejenisnya setiap kali menjelaskan sesuatu. Karena dengan memilih kata tersebut, otak kita hanya akan terpaku pada pengertian umumnya saja. Cobalah, kata teman saya tadi, untuk menjelaskan suatu kata dengan diksi lain yang lebih luas, merinci, dan berekor-ekor.

Dengan contoh “gelas” tadi, ia berkata begini, “gelasku berwarna bening sedangkan gelasmu berwarna pekat, ini terjadi karena gelas di hadapanku dijadikan tempat untuk menuang jus, sedangkan gelas pekatmu dijadikan untuk menuang kopi. Kita tahu bahwa tempat kopi tidak dinamakan gelas lagi meskipun dari marga yang sama-sama bisa disebut gelas, namun lebih tepat jika untuk kopi kita sebut sebagai cangkir. Begitu pula untuk teh, cangkir.”

“Lihat. Saya pun memasukkan unsur-unsur yang kamu sebutkan tadi seperti ‘tempat’, air, kopi dan teh. Dan apa yang saya katakan jelas lebih panjang dari sekelumit istilah gelas yang kamu sampaikan tadi.” Katanya kemudian sambil terkekeh. Saya ikut mengekehkan diri sekaligus mengumpat, asu bergumam menyebut nama Tuhan.

Sekarang, lupakan kisah saya di komite siswa, dan lupakan pula obrolan saya dengan teman gila yang seorang guru Sastra Indonesia tadi. Lupakan saja semua itu dan mari kita kembali kepada tema yang hendak saya sampaikan mengenai “Menulis itu Mudah”.

Menulis itu mudah karena pertama, kita jangan sekali-kali menganggap bahwa menulis itu susah, sukar, sulit, berat, dan seterusnya. Yang pertama kali perlu kita tekankan pada otak kita adalah bahwa menulis itu mudah, atau sangat mudah. Jika kita sudah mampu membikin anggapan semacam itu, kita tinggal memilih suatu pokok tema yang ingin kita tulis tanpa perlu menentukan kapan waktunya. Kalian akan menjadi penulis professional kalau setiap aktivitas menulis kalian harus dijadwal. Penulis hebat itu tak harus professional dan tak harus memiliki jadwal ketat apalagi sampai ada deadline kapan tulisan harus selesai. Percayalah, membuat deadline hanya akan menyengsarakan kita sendiri. Yang terpenting, tulislah sesuai pokok tema yang telah ditentukan dengan dasar awal bahwa “menulis itu mudah”.

Selanjutnya, jika dalam perjalanannya kalian menemukan suatu masalah misalnya kehabisan diksi (saya sebetulnya kurang yakin ada istilah
“kehabisan diksi” ini), silakan kalian berhenti sejenak dan keluarlah dari dunia tulis-menulis. Termasuk membaca, juga hindari. Pergilah keluar dan hirup udara yang penuh polusi di kota kalian, selama semau kalian. Jangan kembali untuk menulis lagi kalau mood menulismu belum terkumpul. Tenang saja, ketika kalian sudah memantapkan diri menganggap bahwa menulis itu mudah, kalian akan dengan mudah menemukan mood menulis kapan saja.

Jika sudah terkumpul mood menulis kalian, segera manfaatkan ia sebaik-baiknya. Tulis sebanyak-banyaknya tanpa pedulikan jadwal makan (kecuali makan sahur, kalian harus tahu bahwa ada keberkahan dalam makanan sahur), kencan (kalau kalian non-jomblo), nonton sinetron (kalau kalian Emak-emak), dan segala bentuk aktivitas tersier semacam itu. Hindari itu semua. Tapi untuk aktivitas-aktivitas primer, ya tetap dahulukan. Contohnya, disuruh ibu kalian untuk memarut kelapa (asli saat menulis sampai di sini, saya disuruh Emak saya buat marut kelapa. Beuh.)

Kalau kalian dapat membendung keinginan-keinginan semu untuk memuaskan nafsu kalian melakukan aktivitas tersier seperti di atas, tentu kalian akan dengan lancar jaya menyelesaikan tulisan kalian. Saran saya, beri sedikit data mengenai tulisan saya. Data referensi. Terutama jika tulisan kalian adalah untuk dipublikasi sebagai bentuk informasi. Kan wagu misalnya kalian menulis artikel berita, tapi tidak ada sumber referensi yang dapat dipercaya serta data yang kredibel. Jangan seperti saya menuliskan ini yang sama sekali tanpa referensi.

Pada akhirnya, saya selesai menuliskan artikel tentang “Menulis itu Mudah” ini dengan lega. Meski saya sebenarnya hanya membual tak jelas arahnya, setidaknya saya berhasil membuat artikel yang ideal karena memiliki total kata lebih dari 1000 kata. Saya, memang termasuk orang yang mematok standar jumlah kata untuk tulisan saya. Yaitu minimal 888 kata dan tanpa memberi batas maksimal. Mengapa? Karena, konon, sekali lagi konon, mesin pencari gemar merayapi artikel yang ketat, seksi, bahenol, nyempluk, ginuk-ginuk, semok, dan… Wait, wait, wait, ini ngomongin artikel apa sedang membahas hashtag #OpenBO sih?
Hambuh, Jon!

Betewe, kalau kalian enggak percaya bahwa tulisan saya ini lebih dari 1000 kata, silakan kalian cek jumlah kata, karakter, dan lain-lain di kotak penghitung jumlah kata di sini.

See!

No comments:

Post a Comment